Sebagai imam, saya terlibat nyata, langsung, dan berkesinambungan dalam pertumbuhan Persekolahan Mardi Yuana (sejak Sept 1993 sebagai Kepala Perwakilan Depok) sampai Feb 2007 (sebagai Pastor Paroki Sukabumi), lalu pindah tugas ke Jakarta.
Pengalaman dalam pengambilan keputusan-keputusan penting terhadap persekolahan milik keuskupan ini saya alami sebagai Pengurus Yayasan bersama Rama Markus Lukas. Lalu sebagai Pengawas Yayasan, bersama Rama Markus Lukas & Rama Agustinus Suyatno, meskipun sebagai Pengawas hampir tanpa peran apa-apa, karena umumnya terkesan ditulikan dan dibutakan oleh Badan Pengurus. Juga sebagai Pengurus MPK, dan terlebih lagi sebagai Ekonom Keuskupan Bogor (8 tahun 7 bulan, sejak Mid Juli 1994 sd 28 Feb 2003).
Sejak mengalami masa-masa keprihatinan mendalam, ketika tiap bulan kas Keuskupan Bogor harus menomboki sampai 70-an juta untuk menyubsidi Persekolahan Mardi Yuana; ketika pada tahun 1996 dengan amat sangat berat memutuskan membubarkan Dana Kesejahteraan Pegawai Keuskupan Bogor (DKPKB) lalu mengakuisisikannya ke dalam Dapen KWI (d.h. DHT-KWI) yg menimbulkan reaksi, namun terpaksa dilakukan, demi masa depan seribuan karyawan gabungan ini; Sampai masa mandiri, ketika Rama Markus Lukas pada Juni 2000 menyerahkan pengelolaan Mardi Yuana kepada Rama Suyatno, lalu estafet berlanjut pada 25 Jan 2010 kepada Rama Ignatius Besembun dengan kemampuan keuangan amat memadai.
Beberapa hal yang harus kita pikirkan bersama, refleksikan bersama, dan tentu saja kita laksanakan bersama dalam kesatuan dengan Bapak Uskup sebagai pemegang otoritas tertinggi atas karya-karya bersama di Keuskupan Bogor:
- Sudah waktunya lembaga-lembaga (termasuk paroki) di Keuskupan Bogor menerapkan proses akuntansi yang baku, yang ke depan dikembangkan dengan sistem auditing internal dan eksternal yang memadai.
- Harus mulai memberlakukan hierarki-otoritas pengelolaan keuangan (hierarchical levels of financial authority). Misalnya, seorang pimpinan lembaga hanya memiliki hak mengambil keputusan keuangan sampai batas 10 juta. Selebihnya, otoritas sampai 25 juta berada di level atasnya. Begitu seterusnya, sampai level tertinggi berada di Uskup (sebagai The President of All Institutions). Sebagai catatan kecil, Di OBOR sejak pembenahan tahun 2006 yang lalu, otoritas keputusan atas pengelolaan keuangan diatur berjenjang. Seorang Manajer hanya punya akses legal mengeluarkan uang sampai 10 juta. Selebihnya harus melalui Direktur, yang batas otoritasnya juga dibatasi sampai 20 juta. Kemudian secara berjenjang diatur secara hirarkial oleh Pengurus PRO, lalu lebih tinggi lagi ke Demon KWI, dan Presidium KWI.
- Pembangunan di seluruh Keuskupan harus dalam konsep terpadu, yang diawali dengan sebuah studi kelayakan, sehingga di lapangan tidak terjadi tumpang tindih, misalnya terkait perekrutan sumber daya manusia, pencarian dana/uang, pengajuan perizinan, dan lain-lain.
- Juga karena kita akan secara bergiliran mengelola lembaga-lembaga itu, maka harus disusun sebuah rencana induk (master plan) agar tidak setiap orang, yang kebetulan sedang menjadi pemimpin, bisa ujug-ujug memutuskan rencananya sendiri sesukanya, yang ujung-ujungnya berbuntut pada kesemrawutan tata ruang, tata letak, tata guna bangunan/peralatan, tata kelola keuangan, bahkan juga ke kesemrawutan tata guna lembaga.
Masih bersyukur kalau yang bersangkutan saat memimpin tidak meninggalkan kewajiban atau utang, namun bagaimana seandainya pemimpin tersebut meninggalkan utang. Siapa yang harus bertanggungjawab atas warisannya itu?
Beberapa pemikiran ini semoga bermanfaat untuk mewujudkan pengelolaan lembaga-lembaga kita dengan lebih kredibel, transparan dan akuntabel, dalam mewujudkan cita-cita bersama Keuskupan Bogor sebagai communio dari aneka komunitas basis yang beriman mendalam, solider dan dialogal, memasyarakat dan misioner.
Jakarta, 3 Agustus 2011 (Agustinus Surianto Himawan)