Oleh Agustinus Surianto Himawan

Di sudut kanan belakang Gereja Katedral Bogor, tiap sabtu sore, selalu rutin ada lelaki bule setengah tua berperawakan tinggi, kurus, berwajah ganteng, duduk di kursi dalam sebuah ruang kecil yang pintunya terbuka sambil asyik membaca buku. Ketika ada tamu yang datang, si bule menutup pintu, begitu pula tamu yang datang menutup pintu satunya lagi. Apa yang terjadi di dalam, wallahualam…!

Di kemudian hari barulah saya tahu kalau si bule itu adalah Mgr. Nicolaus Johannes Cornelius Geise OFM, sang Uskup Bogor. Setelah dibaptis menjadi Katolik pada 10 Agustus 1970, saya juga baru tahu kalau ruang kecil itu adalah kamar pengakuan dosa. Setelah dewasa dan masuk seminari, baru saya paham yang dibaca si bule sambil duduk menanti tamu itu adalah Brevir, buku doa ibadat harian yang memuat ibadat resmi Gereja.

 

Juragan Niti Ganda

Bagi banyak orang yang mengalami masa kanak-kanak di Bogor, Gereja Katedral menjadi tempat yang menarik untuk dikunjungi. Bangkunya panjang dan besar-besar, terbuat dari kayu bergaya semi klasik. Banyak patung besar berwarna putih di mana-mana. Sebuah replika Pieta, Bunda Maria memangku Yesus, terpajang di koridor setelah tangga masuk gereja, menghadap luar, seolah menyambut semua umat yang datang. Gereja nan anggun ini dibangun pada 1905 oleh Pastor M.Y.D. Claessens, keponakan Mgr. Adamus C. Claessens, Vikarius Apostolik Batavia ke-3 (1874-1893).

Tiap sabtu sore ada pemandangan menarik sebagaimana diceritakan di atas, yang menampilkan sosok rupawan memesona, Mgr. NJC Geise OFM. Sebagai Uskup Bogor pertama, tak setiap waktu ia bisa ditemui di Katedral. Tempat tinggalnya di Wisma Keuskupan, di Jalan Jakarta 31. Kini jalan itu dinamai Jalan Achmad Yani. Jaraknya sekitar   tiga kilometer di sebelah utara Katedral. Pada hari-hari kerja ia sibuk di Bandung sebagai Rektor Universitas Parahyangan, yang didirikannya pada tahun 1955.

Bagi saya pribadi sejak kecil sampai remaja, sosok Mgr. Geise tetaplah misterius. Peristiwa paling akrab, yah saat “ditempeleng” dalam upacara Sakramen Krisma kelas V SD, sebagai lambang perutusan menjadi umat yang sudah dewasa dalam iman. Tahun 1975 terjadi pergantian kepemimpinan keuskupan di Bogor, dari Mgr. Geise ke Mgr. Ignatius Harsono. Akibatnya, Mgr. Geise harus mengungsi dari Wisma Keuskupan ke Pastoran Katedral. Inilah awalnya umat bisa lebih akrab dan mengenal sosok Mgr. Geise karena tiap akhir pekan bisa melihatnya duduk berjam-jam di kamar pengakuan dosa di Gereja Katedral. Di luar waktu itu masih bisa melihat sosoknya di pastoran Katedral, entah sedang menerima tamu, sedang membaca koran, sedang makan, dan sebagainya.

Pada waktu tertentu saya bisa menyaksikannya menerima tamu-tamunya dari komunitas masyarakat Baduy, yang tampil menyolok karena menggunakan busana khas Baduy. “Juragan”, itulah cara mereka memanggil Mgr. Geise. Dalam budaya Sunda, “juragan” bermakna “tuan”, panggilan untuk orang yang dihormati dan lebih tinggi pangkatnya. Mgr. Geise pernah menetap selama dua setengah tahun di Cipeureun, Banten, ketika melakukan penelitian untuk disertasi doktor antropologi (lulus 1951) di Universitas Nijmegen, dengan judul “Baduys en Moslems in Lebak Parahiangan, Zuid Banten”. Sebagai tanda menyatu dengan masyarakat setempat, ia memilih nama khas Sunda, yaitu Niti Ganda. Nama itu sering disingkatnya dengan “NG”, kependekan dari Niti Ganda, atau bisa juga Nicolaus Geise. Juragan Niti Ganda adalah panggilan akrab masyarakat Baduy untuk Mgr. Geise. Sang Juragan berkulit putih ini amat fasih berbicara dalam bahasa Sunda. Bukan bahasa Sunda kasar atau pasaran, tetapi bahasa Sunda halus, yang bagi kebanyakan penutur kelompok “non mother tongue” bukanlah hal yang mudah dipelajari karena bertingkat-tingkat.

Pendiri Unpar

Monsinyur Geise lahir di Rotterdam, Belanda, 7 Februari 1907. Setelah menamatkan sekolah menengah ia ingin melanjutkan cita-citanya untuk menjadi misionaris di Tiongkok. Maka pada 7 September 1925 ia masuk Ordo Fratrum Minorum (OFM). Ditahbiskan sebagai imam pada 6 Maret 1932, kemudian sebagai pastor muda yang cerdas dan bersemangat ia ditugaskan belajar di Universitas Leiden, Belanda, sebelum cita-citanya berangkat ke tanah misi boleh diwujudkan.

Keinginannya untuk menjadi misionaris di Tiongkok kandas karena Pimpinan OFM mengutusnya untuk berangkat ke Tanah Jawa memperkuat pelayanan para Fransiskan yang telah masuk Hindia Belanda pada 29 Desember 1929 dan diserahi reksa pastoral stasi-stasi di pinggiran Jakarta, seperti Cianjur, Sukabumi, Tangerang, Rangkasbitung, dan Serang. Pada perkembangan berikutnya, sebagian dari wilayah-wilayah pinggiran Jakarta itu diserahkan pelayanannya kepada para Fransiskan. 9 Desember 1948 dibentuklah wilayah gerejawi, Prefektur Apostolik Sukabumi, cikal-bakal Keuskupan Bogor. Serentak Tahta Suci juga menunjuk Pater Dr. NJC Geise OFM sebagai Prefek Apostoliknya. Ketika Hierarki Gereja Katolik Indonesia dibentuk, 25 Januari 1961, Prefektur Apostolik ini ditingkatkan statusnya menjadi Keuskupan Bogor, dengan Mgr. Dr. NJC Geise OFM sebagai uskup pertamanya.

Di tengah kesibukannya memimpin Prefektur Apostolik Sukabumi, rupa-rupanya jiwa Geise sebagai seorang intelektual selalu mewarnai hidupnya. Ia mendirikan dan mengembangkan perguruan Mardi Yuana yang mengelola sekolah-sekolah formal di berbagai pelosok Jawa Barat bagian barat. TK, SD, SMP, dan SMA Mardi Yuana hadir di mana-mana. Kemudian ia mendirikan juga sekolah-sekolah kejuruan yang siap pakai: SPG di Sukabumi, SMEA di Cianjur, SUT (Sekolah Usaha Tani) di Pasir Nangka, Cianjur Selatan, STM Grafika di Bogor, dan SPK (Sekolah Perawat Kesehatan) di Rangkasbitung.

Mgr. Geise menyadari bahwa pendidikan adalah salah satu pilihan Gereja untuk ambil bagian membangun peradaban di Indonesia yang baru saja merdeka. Ada banyak manusia Indonesia yang harus dimerdekakan juga cara pikirnya, cara hidupnya, budayanya, kemanusiaannya. Obsesinya untuk memberikan pendidikan setinggi-tingginya bagi masyarakat Jawa Barat mendapat sambutan hangat dari sahabatnya, Mgr. Petrus Marinus Arntz OSC, Vikarius Apostolik Bandung.

Mgr. Geise juga sadar bahwa dalam wilayah yang dilayaninya amat sulit memilih lokasi yang pas untuk memulai sebuah tempat pendidikan berbentuk perguruan tinggi. Pusat Prefektur Apostolik Sukabumi ada di kota kecil yang sepi, di selatan Jawa Barat, yang jauh dari mana-mana, yang bagian selatannya berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Pada waktu itu, Kabupaten Bogor tidak termasuk wilayah yang diserahkan oleh Vikariat Apostolik Bartavia ketika Prefektur Apostolik Sukabumi dibentuk. Tahta Suci Vatikan baru menggabungkan Kabupaten Bogor pada tahun 1957.

Buah pemikiran Geise sebagai seorang intelektual yang berjiwa pendidik “mewujud” berkat uluran tangan Mgr. Arntz di Bandung. Maka pada 17 Januari 1955 didirikanlah sebuah akademi yang bernama Akademi Perniagaan dengan kampus yang masih menumpang, seperti di Gedung Panti Budaya (kini Gedung BI) dan gedung sebuah pabrik biskuit. Akademi ini kemudian dikembangkan menjadi Perguruan Tinggi Sosio Ekonomi Parahyangan. Sesuai dengan UU Perguruan Tinggi 1961, kemudian diubah lagi menjadi Universitas Parahyangan. Orang menyingkatnya: UNPAR.

Mgr. Geise mengajak Mgr. Arntz mendirikan sebuah perguruan tinggi yang terbuka, yang berakar pada semangat kebersamaan martabat manusia, yang tidak diskriminatif. Berkali-kali kepada banyak pihak ia mengatakan Unpar bukan Universitas Katolik, tetapi didirikan oleh lembaga Gereja Katolik, dan berdasarkan nilai-nilai Katolik ingin melayani masyarakat Jawa Barat memperoleh pendidikan yang layak dalam sebuah perguruan tinggi. Maka, jangan heran kalau kita (pada waktu itu) tidak menemukan satu identitas kekatolikan pun di kompleks Unpar. Idealisme dan niat luhur itu kemudian dirumuskan dengan indah dalam sesanti “Bakuning Hyang Mrih Guna Santyaya Bhakti”, artinya “Berdasarkan Ketuhanan Menuntut Ilmu untuk Dibaktikan kepada Masyarakat”.

Kedekatan Geise dengan Presiden Soekarno dan Vatikan membuat segala cita-citanya nampak mudah diwujudkan. Dalam tempo singkat, April 1962 semua fakultas (awal: Ekonomi, Hukum, Sospol, dan Teknik) mendapat status “disamakan” dengan Universitas Negeri. Geise juga memboyong sahabat-sahabat intelektualnya untuk bergabung mewarnai Unpar, seperti Pater Wim Hofsteede OFM, Pater MAW Brouwer OFM, dan Pater Ignatius Harsono. Di kemudian hari para sahabat Geise mulai mengurangi peranannya. Pater Hofsteede OFM menjadi guru besar di IKIP Bandung (kini Universitas Pendidikan Indonesia), Pater Brouwer OFM aktif mengajar di Unpad dan sibuk dengan klinik psikologinya di daerah Dago, sedangkan Pater Harsono diangkat menjadi Uskup Bogor (Mei 1975). Namun, Tuhan telah mengatur semua hal indah pada waktunya. Seorang imam yang jauh lebih muda (pada waktu itu) mulai dilibatkan dalam pengelolaan Unpar, yaitu Pater Frans Vermeulen OSC.

Kini Unpar telah berkembang,  semakin berkembang, dan terus semakin berkembang menjadi perguruan tinggi papan atas yang diminati banyak anak muda untuk menimba ilmu, menyiapkan masa depannya.

Rektor dan Rekan Pastoral

Juragan Geise memang orang pendidikan. Hidupnya diabdikan hampir seluruhnya bagi dunia pendidikan. Ia menjadi guru besar di Unpar dan Unpad. Setelah pensiun dari tugas sebagai Rektor (1979), ia tetap setia bolak-balik Bogor-Bandung untuk mengajar.

Ketika saya masuk kuliah di FE Unpar, yang menjadi rektor adalah Mgr. Prof. Dr. NJC Geise OFM. Sebelumnya, di Bogor saya hanya mengenalnya sebagai bapak uskup, sebagai gembala umat yang lembut hati dan ramah terhadap umat-umatnya. Saya sempat terkagum-kagum dengan Mgr. Geise pada saat kuliah umum perdana dan penerimaan resmi mahasiswa baru di Gedung Serba Guna Unpar di Ciumbuleuit. Ternyata, uskupku begitu gagah dan anggun,  mengenakan toga kebesarannya berjalan memasuki GSG, saat lagu Gaudeamus Igitur menggema dengan agungnya.

Beberapa tahun kemudian, saat saya keluar dari Unpar dan masuk Seminari Tinggi Petrus-Paulus (seminari milik Keuskupan Bogor di Bandung, yang pada waktu itu juga menjadi seminari interdiosesan), saya kembali bertemu dengan Mgr. Geise sebagai rektor seminarinya. Semangatnya sebagai pendidik tak pernah padam. Kami para frater sering memelesetkan cara memanggilnya, bukan Monsinyur Geise, bukan Juragan Niti Ganda, tetapi “Mang Sinyo Geise”. Panggilan “mang” dalam masyarakat Jawa Barat artinya “paman”, atau “om”. Tapi kami memanggil Mang Sinyo Geise hanya sekedar plesetan nama, tak ada maksud apapun.

Saya masih ingat nasihat-nasihatnya saat beberapa kali bimbingan di ruang kerjanya di Bogor, ataupun di Buah Batu, Bandung, untuk persiapan masuk seminari. Semula saya ingin menjadi seorang fransiskan karena sejak kecil saya menyaksikan “model” imam ideal dalam pribadi para fransiskan Belanda di Bogor. Saya kuliah di Bandung, menyaksikan gaya yang berbeda dari imam-imam Salib Suci.

Ini nasihatnya:

“Kamu orang Bogor, besar di Bogor, menjadi aktivis gereja di sini, dan tahu banyak perkembangan Gereja di Keuskupan Bogor. Lihatlah, berapa orang Bogor yang mau menjadi imam? Mengapa kamu tidak mau menjadi imam untuk keuskupanmu?

Saya memang seorang Fransiskan, juga seorang Uskup. Sebagai Uskup, saya “kawin” dengan keuskupan ini. Sebagai Uskup saya akan memprioritaskan imam-imam untuk keuskupan ini karena tanpa memiliki imam-imam sendiri, sampai kapan pun Keuskupan Bogor tak akan mandiri dalam hal tenaga imam. Selalu meminta dan meminta.

Saya mau kamu membatalkan rencanamu untuk menjadi misionaris dan menjadi Fransiskan. Saya menantang dan mengajak kamu bergabung sebagai imam praja untuk Keuskupan Bogor”.

Menjadi frater calon imam praja, menjadi seminaris di Seminari Petrus-Paulus, seakan-akan menghanyutkan saya untuk lebih dalam lagi menyelami pribadi seorang Geise. Sebelumnya, sejak kanak-kanak sampai remaja, saya hanya mengenal dia sebagai uskupku yang ramah dan lembut hati. Ketika berkuliah di FE Unpar, saya mengenai Geise yang sama namun dalam gaya berbeda, sebagai rektor yang gagah dan tegas.

Geise adalah manusia ilmu. Sepanjang hari ia hanya membaca, menulis, dan mengajar. Geise juga seorang rohaniwan. Seletih apa pun bekerja, ia tak pernah lupa misa harian. Sesibuk apa pun ia menulis atau mengajar, pada saat “jam doa” ia akan berhenti sejenak, membuka brevirnya dan mendaraskan doa-doa di dalam hatinya. Suatu ketika saya pernah “nebeng” ikut mobilnya dari Bogor ke Bandung. Supirnya? Ya, Mgr. Geise sendiri. Tengah hari, ia menghentikan mobilnya di daerah Ciranjang, lalu menyuruh supirnya untuk menggantikannya. Hati kecil saya menduga Mgr. Geise pasti keletihan mengemudi karena usianya sudah cukup sepuh, lebih dari 75 tahun saat itu. Namun saya keliru, karena kemudian ia membuka tasnya dan mengeluarkan brevir untuk berdoa pribadi.

Fase pengenalan keempat kelak saya alami juga ketika sudah ditahbiskan sebagai imam. Geise yang sama itu, saya alami secara berbeda lagi, sebagai rekan seimamat, sama-sama orang tertahbis yang mendapat perutusan khusus untuk melayani Gereja Umat Allah. Duduk bersama berkeliling saat rekreasi siang. Duduk semeja makan saat sarapan pagi, makan siang, atau makan malam.

Siapkan Khotbah, Siapkan Misa

Suatu ketika Mgr. Geise mengetuk kamar tidur kami. Dia lalu bertanya, “Apakah kalian baru belajar kalau berumur panjang? Atau kalian belajar supaya berumur panjang?”. Loh, apa maksudnya nih? Ternyata, di pintu kamar, frater Fabianus Heatubun, teman sekamar saya, menempelkan tulisan berwarna-warni “Long Life Education”. Esok harinya, teks telah diganti menjadi “Life Long Education”. Sejak saat itu, Mang Sinyo Geise tak pernah mengusik lagi kalimat itu. Mungkin ia yakin kami berdua pasti akan setia belajar sepanjang hidup kami. Atau mungkin juga ia menduga kami pasti tak tahu apa-apa.

Dari pengalaman di seminari tinggi, saya memperhatikan gaya rektor yang satu ini memang berbeda. Ia lebih banyak mengajar dengan contoh sikap, bukan dengan kata-kata. Para frater dilatihnya mandiri dalam segala hal. Para frater tak perlu “dipelototi” setiap saat. Geise sangat berharap para calon imam ini dari hari ke hari  berproses membina diri sebagai calon imam yang memiliki kepribadian mandiri dan dewasa.

Mgr. Geise memiliki kharisma khusus, bukan hanya sebagai intelektual, tetapi juga sebagai  seorang rohaniwan. Misa adalah kebutuhan utamanya. Misa yang dipimpinnya senantiasa disiapkannya dengan baik. “Disajikannya” dengan indah dan anggun agar semua yang ikut merayakan misa itu bisa menimba pembaruan hidup. Ketika para frater bernyanyi dengan nada yang fals, Mgr. Geise akan menghentikan lagu, kemudian memberi contoh yang benar, dan mengajak para frater untuk mengulanginya lagi dalam misa tersebut.

“Nyanyi sing eces”, katanya dalam bahasa Sunda, yang artinya “bernyanyilah dengan benar”. Bernyanyi bukanlah kumur-kumur. Tiap kata, tiap nada harus terdengar dengan benar. Maka penting memperhatikan intonasi, artikulasi, dan sebagainya.

Bagaimana dengan khotbah? Wah, Mang Sinyo Geise terkenal sebagai pengkhotbah yang jempolan. Di Bogor umat sangat menanti-nantikan bisa ikut misa yang dipimpin olehnya. Khotbahnya tak bertele-tele, jelas, dan membumi. Maka, dalam banyak kesempatan, ia selalu berpesan agar para frater sebagai imam nanti selalu menyiapkan khotbah sebaik mungkin sebelum memimpin misa:

“Sepuluh tahun pertama sebagai imam, buatlah khotbah dengan ditulis. Tulis, tulis, dan tulis. Jangan malas.

Menyiapkan khotbah dengan menulis artinya menyiapkan dengan segenap hati, jiwa dan raga. Pastor jangan asal omong. Apa yang ada di otak langsung diomongkan. Khotbah harus disiapkan sebelum misa dengan hati-hati agar pesan Sabda Allah bisa dicerna dengan baik oleh umat….”

Monsinyur Geise adalah figur manusia ideal. Ia seorang rohaniwan. Ia seorang intelektual. Ia seorang bapak bagi banyak anak muda idealis. Ia adalah model manusia yang belajar sepanjang hidupnya. Ia adalah sumber pengetahuan yang tak pelit membagikan isi otak dan hatinya kepada siapa pun yang ditemuinya.

Monsinyur Geise memang seorang idealis. Namun ia mampu mewujudkan idealismenya itu bagi kemaslahatan sesamanya. “Kita harus memiliki idealisme. Silakan sebesar apapun. Itu bagus dan penting untuk orientasi hidup masa depan kita. Namun, idealisme tetap harus membumi”, katanya dengan berapi-api di hadapan para frater. “Yah, idealisme yang membumi”, duk, duk, duk… suara sepatunya berkali-kali dihentakkan di lantai ruang konferensi Seminari Tinggi Petrus-Paulus.

Melalui hidup, Monsinyur Geise mempertontonkan semua itu secara nyata, agar dirinya bisa menginspirasi semua orang untuk menjadi lebih baik dan sempurna sebagai manusia.

Mgr. Prof. Dr. NJC Geise OFM mengisi hari-hari tuanya di rumah lansia di Heerlen, Belanda, jauh dari saudara-saudara yang amat dicintainya dan amat menghormatinya sebagai tokoh masyarakat Jawa Barat. Selasa, 1 Agustus 1995, pukul 15.30 waktu setempat, ia menutup seluruh episode kehidupannya dalam usia hampir 89 tahun.

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s