FRANSISKUS ASSISI

Giovanni Bernardone adalah nama lahir Santo Fransiskus. Lahir di Assisi, kota di pegunungan Umbria, Italia, 5 Juli 1182. Melakukan perubahan radikal dalam hidupnya pada usia duapuluhan, dengan meninggalkan harta duniawi yang diwariskan ayahnya, Pietro Bernardone, saudagar tekstil kaya di Italia. Ibundanya, Pica de Bourlemont, adalah wanita Prancis.

Fransiskus di kemudian hari membentuk persaudaraan bagi orang-orang yang berniat hidup wadat dalam kebersahajaan, dikenal dengan nama Ordo Para Saudara Dina, Ordo Fratrum Minorum, untuk laki-laki; serta Ordo Santa Clara untuk perempuan. Fransiskus yang amat mencintai ekaristi itu, mendapat anugerah ‘stigmata’ (luka-luka Yesus) pada tahun 1224. Meninggal dunia pada petang hari 3 Oktober 1226 dalam usia 45 tahun. Paus Gregorius IX memberinya gelar orang kudus pada 16 Juli 1228

Tanggal 4 Oktober ditentukan sebagai hari perayaan St. Fransiskus dari Assisi, menjadi hari besar bagi mereka yang menghayati semangat  St. Fransiskus dalam hidupnya; baik mereka yang menyebut dirinya para saudara dina (OFM, OFM.Conv & OFM.Cap) beserta ordo, tarekat dan kongregasi turunannya yang sudah beranak pinak tak terhitung jumlahnya, maupun mereka yang menghayati semangat St. Fransiskus Assisi secara pribadi dalam hidupnya.

Keutamaan penghayatan semangat St. Fransiskus tercermin dari gaya hidup yang menampilkan kebersahajaan, kecintaan pada alam semesta, dan hidup penuh persaudaraan dengan siapa pun.

Berdamailah dengan seluruh mahluk ciptaan Tuhan

Kebersahajaan, kemiskinan dalam arti yang luas. Kebersahajaan ditampilkan dengan hidup apa adanya, yang tidak terikat pada materi duniawi namun hidup sesuai dengan kewajaran tanpa berlebihan. Be satisfied with very little, einfach leben, hidup sederhana dan minimalis karena didorong oleh kesukarelaan. Menikmati hidup secukupnya dengan apa yang dibutuhkan, namun bukan apa yang diinginkan. Unsur kesukarelaan ini mendorong seseorang menghayati hidupnya dengan penuh tanggungjawab, bukan asal-asalan, bukan sekadar supaya tampak miskin. Hidup bersahaya juga tidak identik dengan kumuh, jorok, dan kotor. Ia tetap tampil rapi, bersih, dan elegan memancarkan daya pikat bagi orang di sekelilingnya untuk meniru kebersahajaannya.

Kebersatuan dengan alam semesta dihayati dalam arti luas, bukan karena kewajiban tetapi karena menjadikan dirinya ‘bagian’, ‘sepotong sel’ dari alam semesta yang manunggal. Ikut ambil bagian merawat alam ciptaan agar tetap terpelihara dan sempurna sebagaimana pertama kali diciptakan oleh Allah. Semangat Santo Fransiskus membawa para pengikutnya untuk ambil bagian dalam berbagai isu terkait lingkungan hidup. Pemimpin Gereja Katolik masa kini, Paus Fransiskus, secara khusus mengajak umat manusia untuk bersama-sama merawat alam ciptaan ini sebagai rumah bersama segala makhluk.

Hidup dalam persaudaraan dengan siapa pun akan menjadikan dirinya sebagai manusia damai. Fransiskus Assisi memperlihatkan semangat persaudaraan ini dengan mengunjungi Mesir saat berlangsung Perang Salib V untuk berdialog dengan Sultan al-Kamil (1218-1238) pada tahun 1219. Al-Kamil adalah sultan ke-5 dari dinasti Ayyubid (al-Ayyubiyun) yang didirikan oleh Sultan Saladin (1174-1193). Melalui semangat persaudaraan Santo Fransiskus ingin mengakhiri peperangan panjang yang dikenal sebagai “perang salib” di kemudian hari. Manusia damai adalah manusia yang mampu menjadi katalisator bagi terwujudnya persaudaraan antar manusia, bahkan dengan seluruh alam semesta.

Dan, 800 tahun kemudian, pertemuan bersejarah antara Santo Fransiskus dengan Sultan al-Kamil terulang kembali ketika Paus Fransiskus dan Ahmed At-Tayyeb, Imam Besar Al Azhar, menandatangani Dokumen Abu Dhabi tentang “Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Beragama” pada Senin, 4 Februari 2019

Deklarasi Dokumen Abu Dhabi, 4 Februari 2019

Memang sih, selama lima tahun terakhir ini, semangat St. Fransiskus Assisi digemakan lebih lantang oleh pemimpin Gereja Katolik Universal, Paus Fransiskus. Seorang Yesuit asal Argentina nun jauh di sana, jauh dari Vatikan, yang memilih nama Fransiskus sebagai nama barunya saat dipilih menjadi Servus Servorum Dei, Hamba dari Para Hamba Allah.

Pertemuan para biarawan fransiskan (OFM), Kapusin (OFM.Cap), dan Konventual (OFM.Conv) di Santa Barbara, California, 2 Juli 2019. Foto: Jim McIntosh

Lihatlah, betapa indahnya doa Santo Fransiskus berikut ini:

TUHAN,
Jadikanlah aku pembawa damai.
 
Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa cinta kasih.
Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa pengampunan.
Bila terjadi perselisihan, jadikanlah aku pembawa kerukunan.
Bila terjadi kesesatan, jadikanlah aku pembawa kebenaran.
Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa kepastian.
Bila terjadi keputus-asaan, jadikanlah aku pembawa harapan.
Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku pembawa terang.
Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku pembawa sukacita.
 
Ya Tuhan Allah,
ajarlah aku untuk lebih suka menghibur daripada dihibur;
mengerti daripada dimengerti;
mengasihi daripada dikasihi;
sebab dengan memberi kita menerima;
dengan mengampuni kita diampuni,
dan dengan mati suci kita dilahirkan ke dalam Hidup Kekal.
Amin.

Semoga dengan perantaraan doa dari St. Fransiskus Assisi, semakin banyak orang turut ambil bagian mewujudkan keharmonisan alam ciptaan Tuhan, semakin banyak orang yang siap untuk menjadi alat damai-Nya.

“Sekiranya engkau memperhatikan perintah-perintah-Ku, maka damai sejahteramu akan seperti sungai yang tidak pernah kering, dan kebahagiaanmu akan terus berlimpah seperti gelombang-gelombang laut yang tidak pernah berhenti (Yesaya 48:18)”

Jakarta, 4 Oktober 2020

Agustinus Surianto Himawan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s