PANCASILA DASAR NEGARA

Garuda Pancasila, akulah pendukungku. Patriot proklamasi sedia berkorban untukmu. Pancasila dasar negara. Rakyat adil makmur sentosa. Pribadi bangsaku. Ayo maju, maju. Ayo maju, maju. Ayo maju, majuuuu. Itu syair Mars Pancasila yang diciptakan oleh Sudharnoto (1925-2020)

Lagu Garuda Pancasila pada masa Orde Baru hamper setiap hari kita dengar melalui Radio dan Televisi selepas siaran berita. Juga dinyanyikan pada saat-saat tertentu sehingga masyarakat Indonesia menjadi hafal dengan sendirinya.

Penciptanya adalah Sudharnoto, seniman musik kelahiran Kendal, Jateng, 24 Februari 1925, yang oleh penguasa Orde Baru dikelompokkan sebagai anggota Lekra, sebuah Lembaga Kebudayaan zaman Orde Lama yang dikategorikan berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia, sehingga pandangan-pandangannya dianggap kekiri-kirian. Ia meninggal pada 11 Januari 2020 dan dimakamkan di TPU Karet, Jakarta.

Pancasila sebagai Bahan Indoktrinasi

Sejak zaman Orde Lama sampai Orde Baru kita diajarkan bahwa Pancasila adalah dasar negara. Negara yang mana? Negara Kesatuan Republik Indonesia. NKRI yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dengan konstitusi bernama UUD’45. Bukan yang lain.

Gegap gempita sosialisasi pentingnya peran Pancasila begitu nyata di zaman Orde Baru setelah lahirnya Tap MPR No. II/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa. Satu janji dalam lima keutamaan perikehidupan berbangsa.

Dua sosok penting kepemimpinan nasional pada dua orde: Suharto dan Soekarno

Pemerintah Orba menyakralkan peranan Pancasila sejak meletusnya gonjang-ganjing politik, yang kemudian dikenal sebagai Gerakan 30 September. Lalu diikuti juga dengan penetapan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila berdasarkan Keppres No. 153/1967.

Supaya tetap sakti maka Pancasila harus diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan pas. Maka diadakanlah penataran di mana-mana. Penataran P4 alias Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.

Isinya tak lain dan tak bukan merupakan indoktrinasi. Penyatupandangan tentang Pancasila dengan satu tafsir, satu versi, satu pola. Tentu versi penguasa Orde Baru lah. Semua harus seragam, dilarang untuk berbeda pandangan.

Supaya seluruh rakyat Indonesia bisa menghayati dan mengamalkan Pancasila dengan tepat maka Orba menyusun pedomannya. Isinya tentang butir-butir apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seturut sila-sila dalam Pancasila. Pancasila dijabarkan dalam 36 butir pengamalan.

Penataran dilakukan untuk semua kalangan. Bahkan dilakukan juga saat para siswa dan mahasiswa mulai masuk sekolah dan kuliah. Sampai bosan dan isinya itu-itu saja yang harus dihafal mati oleh para pesertanya. Sertifikat lulus P4 menjadi “surat sakti” untuk kebutuhan apapun.

Belum cukup dengan Penataran P4, di sekolah-sekolah masih ada pelajaran Pendidikan Moral Pancasila alias PMP. Di bangku kuliah masih ada lagi Kuliah Pancasila sebagai Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU).

Pancasila Sebagai Dasar Negara

Jatuhnya Orde Baru telah mengubah begitu banyak tatanan dan aturan kehidupan bernegara di Indonesia. UUD’45 diamandemen dengan mengubah beberapa hal yang “dianggap” menghambat bangsa ini ke depannya. Nuansa kepentingan politik tetap kental. Bukan soal perlu atau tidak perlu, tetapi tentang siapa butuh apa atas pengelolaan negara ini.

Tak ada lagi kekuasaan absolut sebagaimana dimiliki Suharto selama 32 tahun di masa Orba. Indonesia seakan ada dalam genggaman tangannya. Legislatif dan Yudikatifnya ada di mana?

Monumen Bung Karno di Ende. Konon di tempat inilah, di bawah pohon sukun, Proklamator RI ini menggagaskan Pancasila dalam pengasingannya nun jauh dari Batavia

Konsep Trias Politika-nya Montesquieu konon akan dibagi rata lagi. Parlemen yang selama 32 tahun menjadi lembaga tukang stempel ingin berperanan lebih. Kekuasaan Eksekutif harus diimbangi oleh Kekuasaan Legislatif dan Kekuasaan Yudikatif yang sama kuatnya.

Kekuasaan Legislatif ada pada MPR, DPR, dan DPD. Eksekutif tetap ada di tangan Presiden dan Pemerintah. Sedangkan kekuasaan Yudikatif ada pada Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.

Pancasila Bukan Dari Langit

Presiden Jokowi menerbitkan Keppres No. 24/2016 untuk menetapkan 1 Juni sebagai peringatan Hari Lahir Pancasila. Pro dan kontra pastilah muncul.

Ada yang berpandangan 1 Juni 1945, saat Bung Karno menyampaikan pidatonya tentang lima sila dalam sidang BPUPKI alias Dokuritsu Junbi Cosakai, NKRI belum lahir. Ada pula yang merasa 18 Agustus 1945 lebih tepat, saat Pancasila sudah dalam “bentuk final” sebagai dasar negara dicantumkan dalam Mukadimah UUD 1945, yang disahkan oleh PPKI.

P4 yang dianggap berbau indoktrinasi mulai terlupakan. Pelajaran PMP dan Moral Pancasila juga semakin memudar.

Bung Karno berpidato dalam Sidang BPUPKI

Apakah nilai-nilai Pancasila masih menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara? Jangan-jangan orang sudah melupakan Pancasila sebagai dasar negara yang nyata-nyata tercantum dalam Pembukaan UUD’45 itu.

Mengapa sejak era reformasi yang dipimpin oleh 5 presiden bergantian, sejak Habibie, Gus Dur, Megawati, S.B. Yudhoyono, sampai Joko Widodo, sikap-sikap intoleransi justru semakin banyak? Mengapa korupsi semakin merajalela? Mengapa isu primodialisme muncul di mana-mana?

Intoleransi di Indonesia (foto tirto.id)

Maka, kemudian Presiden Joko Widodo membentuk sebuah lembaga di bawah Presiden yang dinamai Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) dengan Perpres No. 54/2017, tertanggal 19 Mei 2017. Lembaga ini bermetamorfosis menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) melalui Perpres No. 7/2018, tertanggal 28 Februari 2018.

Tugasnya membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi pancasila, mulai dari koordinasi, sinkronisasi, dan sebagainya, pokoknya sampai tuntas agar Pancasila menjadi sendi dasar perikehidupan berbangsa dan bernegara bagi semua kalangan. Konsepnya diharapkan berbeda dengan P4 yang sekadar indoktrinasi.

Pancasila – Dasar atau Pilar

Kelahiran Pancasila diperingati hari ini, 1 Juni, setiap tahun. Beberapa tahun terakhir amat populer istilah empat pilar kehidupan berbangsa, yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD’45. Gagasan ini dipopulerkan oleh Alm. Taufik Kiemas saat menjabat sebagai Ketua MPR RI.

Parade Bhinneka Tunggal Ika dan Toleransi di Pekanbaru, Riau (foto Riau Pos)

Bagi saya, Pancasila bukan pilar. Pancasila adalah dasar negara sebagaimana tercantum pada alinea keempat Pembukaan UUD’45. Dasar tentu berbeda dengan pilar. Kalau dasarnya diganti hancurlah bangunan di atasnya. Rumusan isi kelima sila dalam Pancasila adalah konsensus yang mengikat keberagaman menjadi sebuah keharmonisan hidup bersama dalam sebuah negara.

Salahkah istilah 4 pilar yg kini menjadi populer itu? Ahhhh, sudahlah. Tiap-tiap pandangan punya filosofinya sendiri.

Sebagai sebuah ‘nation state’ bukankah Indonesia itu sebuah keniscayaan.

Ada 1340 kelompok suku yang tinggal di 16-an ribu pulau, dengan 718 bahasa, 6 agama & ratusan aliran kepercayaan yang sama-sama dalam kekhasannya memuliakan Sang Agung.

Pancasila harus dirawat bersama agar tetap menjadi dasar kebersamaan hidup berbangsa dan bernegara dalam bingkai NKRI. Foto diambil dari Patung Garuda Pancasila di samping Gereja Katedral Jakarta (foto: Liplutan 6)

Mari kita rawat bersama. Selamat menikmati keberagaman dalam keharmonisan.

Jakarta, 1 Juni 2021

Agustinus Surianto Himawan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s