Konsili Suci bermaksud makin meningkatkan kehidupan Kristiani di antara umat beriman; menyesuaikan lebih baik lagi lembaga-lembaga yang dapat berubah dengan kebutuhan zaman kita; memajukan apa saja yang dapat membantu persatuan semua orang yang beriman akan Kristus; dan meneguhkan apa saja yang bermanfaat untuk mengundang semua orang dalam pangkuan Gereja. Oleh karena itu Konsili memandang sebagai kewajibannya untuk secara istimewa mengusahakan juga pembaharuan dan pengembangan liturgi (Sacrosanctum Concilium, Konstitusi tentang Liturgi Suci, Konsili Vatikan II, No. 1)

Konsili Vatikan II (1962-1965) membawa banyak pembaruan kehidupan menggereja dalam Gereja Katolik (Roma). Tak terkecuali dalam bidang peribadatan karena diperkenankannya menggunakan bahasa-bahasa setempat. Dulu Bahasa Latin menjadi “bahasa wajib” dalam semua perayaan, termasuk Perayaan Ekaristi (Misa Kudus).

Buah-buah pembaruan Konsili Vatikan II itu perlahan tapi pasti, mulai terasa sampai ke ujung-ujung bumi. Indonesia juga tak mau ketinggalan. Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI, kini KWI) mengajukan permohonan kepada Vatikan untuk menggunakan Bahasa Indonesia dalam Perayaan Ekaristi pada 1966.

Proses penerjemahan dilakukan oleh Panitia Waligereja Indonesia di bidang liturgi (kini disebut Komisi Liturgi KWI). Maka lahirlah buku “Aturan Upacara Misa” pada tahun 1971 yang memuat secara lengkap seluruh tata perayaan misa dalam bahasa Indonesia, sebagai terjemahan dari Ordo Missae dalam Missale Romanum 1969, terbitan Kongregasi Ibadat dan Tata Terbit Sakramen di Vatikan, April 1969.

Missale Romanum edisi lengkap meliputi Tata Perayaan Ekaristi (Ordo Missae), Doa Syukut Agung (Prex Eucharistica), Tata Bacaan Misa, Rumus Doa Hari Minggu & Hari Biasa, Rumus Para Kudus, Misa Votif, dan lain-lain

Usaha pengindonesiaan tata perayaan ekaristi tersebut sebenarnya bukanlah ujug-ujug. Sejak terbentuknya Hierarki Gereja Katolik di Indonesia (3 Januari 1961) telah dirintis pengindonesiaan perayaan misa secara terbatas. Umat Katolik di Indonesia sudah terbiasa mulai mengenal sapaan dan doa-doa misa, selain lagu-lagu tentunya, dalam Bahasa Indonesia. Namun bagian Doa Syukur Agung yang khusus hanya didoakan oleh imam masih mempertahankan Bahasa Latin.

Ecclesia Semper Reformanda Est

“Gereja senantiasa harus direformasi”, sebuah frasa yang konon pernah dikatakan oleh Santo Agustinus, yang memperlihatkan adanya dinamika pembaruan dalam kehidupan menggereja sepanjang zaman. Kalimat sakti ini bukan hanya digemari oleh kelompok teolog reformasi, namun sebuah keniscayaan tak terpungkiri.

Paus St. Yohanes XXIII pada tahun 1962 mengundang para uskup seluruh dunia untuk berkumpul di Vatikan membahas masalah-masalah aktual Gereja (Konsili Vatikan II). Ia ingin membuka pintu gereja lebar-lebar yang ‘seolah-olah ditutup rapat’ selama empat abad oleh Konsili Trente (1545-1563) akibat dampak gerakan reformasi.

Semangat pembaruan yang digagas oleh Yohanes XXIII bertujuan mereposisi Gereja dalam konteks kekinian, sesuai dengan zamannya agar kehadiran Gereja sungguh bermanfaat bagi keselamatan dunia, menjadi garam dan terang yang hadir nyata di tengah dunia, bukan dalam sangkar emas eksklusivisme. Semangat pembaruan itu dinamainya “aggiornamento”.

Paus Benediktus XVI memaknai pembaruan dalam Gereja dalam semangat aggiornamento pada Konsili Vatikan II bukan sekadar berbeda dari yang lama, atau sekadar menggantikan yang lama. Gereja membutuhkan “perennis reformatio”, pembaruan yang berkelanjutan.  Tidak menghentikan yang lama, namun melanjutkan dan menyesuaikannya dengan konteks kekinian. Juga tidak berhenti pada satu titik, namun akan terus menyesuaikan diri dengan perubahan zamannya.

Mgr. Petrus Bodeng Timang, Uskup Banjarmasin & Ketua Komisi Liturgi KWI, bersama seluruh stafnya dan para ahli liturgi & bahasa telah bahu-membahu mengolah TPE 2020

Dari TPE 1979 ke TPE 2005

Gereja Katolik Indonesia secara resmi memiliki Tata Perayaan Ekaristi (TPE) versi bahasa Indonesia pada tahun 1979. Pengerjaannya dilakukan setahap demi setahap oleh para ahli liturgi, meliputi doa-doa, lagu-lagu & aklamasi-aklamasi, prefasi yang disesuaikan dengan konteks Indonesia, dan lain-lain.

Sifatnya pun masih ad experimentum (percobaan) atas persetujuan MAWI/KWI. Keterlibatan umat dalam TPE 1979 ini mendapat porsi yang istimewa, aktif, dan banyak dialog yang responsif di dalam perayaan ekaristi.

Apakah euforia inkulturasi dan penggunaan bahasa setempat dianggap membawa dampak kurang baik bagi liturgi Gereja? Terjadi praktik profanisasi kah, atau banyak yang kebablasan? Angin segar pembaruan yang dibawa oleh Konsili Vatikan II disambut penuh antusiasme di  mana-mana.

Apapun alasannya, namun yang jelas pada tahun 2000 Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen menerbitkan Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR). Berturut-turut diikuti dengan terbitnya Misalle Romanum 2002, Ensiklik Ecclesia de Eucharistia dari Paus Yohanes Paulus II (2003), dan Instruksi Redemptionis Sacramentum (2004).

Gereja Katolik Indonesia menyambut baik ajakan-ajakan tersebut sehingga membentuk tim untuk mempelajari, menyempurnakan dan menerjemahkan ulang teks-teks dengan mengacu pada teks Misalle Romanum 2002. Maka terbitlah TPE 2005 yang bukan lagi ad experimentum karena telah mendapat pengakuan (approbatio) dari para Uskup dalam Sidang KWI 2003, menerima pengesahan (recognitio) dari Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen di Vatikan pada 7 Oktober 2004, dan akhirnya dimaklumkan melalui Promulgasi Presidium KWI pada 29 Mei 2005.

Tata Perayaan Ekaristi 2020

Semangat aggiornamento Konsili Vatikan II membawa pembaruan yang tiada henti namun tetap berkesinambungan. Hal yang baru bukan meniadakan hal yang lama, namun memaknainya dengan lebih pas dengan zamannya. Mengapa? Karena Perayaan Ekaristi adalah tindakan Kristus sendiri bersama Umat Allah yang tersusun secara hierarkis demi Gereja Universal, Gereja Partikular dan setiap orang beriman. Ekaristi adalah pusat seluruh kehidupan kristiani yang di dalamnya terletak puncak karya Allah menguduskan dunia dan puncak karya manusia memuliakan Bapa lewat Kristus, Putra Allah dalam Roh Kudus (PUMR, No. 16).

Tiga tahun setelah TPE 2005 berbahasa Indonesia diterbitkan, Paus Benediktus XVI melakukan pembaruan dan penyempurnaan kembali Missale Romanum. Apakah kita kembali harus mengubah TPE lagi? Kapan mau dimulai karena “yang lama” itu kan baru terbit tiga tahun? Semangat aggiornamento harus tetap mewarnai peziarahan Gereja di tengah dunia yang terus berubah dengan cepat.

Para ahli liturgi dan bahasa kembali dilibatkan oleh Komisi Liturgi KWI untuk menerjemahkan Missale Romanum menjadi Misale Romawi berbahasa Indonesia secara lengkap. Bertahun-tahun pekerjaan besar ini digarap bersama. Tak kunjung selesai karena rumitnya proses penerjemahan, yang bukan hanya melibatkan ahli-ahli liturgi dan bahasa di Indonesia, namun juga harus melibatkan pihak terkait di Vatikan sana.

Di tengah kebuntuan itu rupanya Tuhan membuka jalan baru melalui Paus Fransiskus yang terpilih menggantikan Paus Benediktus XVI pada 2013. Pada 3 September 2017 ia menerbitkan Surat Apostolik berbentuk Motu Proprio dengan judul Magnum Principium.

Kardinal Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta & Ketua KWI, merilis Tata Perayaan Ekaristi 2020 sekaligus menginformasikan mulai berlakunya TPE 2020 menggantikan TPE sebelumnya.

Magnum Principium menjadi landasan untuk melakukan amandemen atas Kanon 838 KHK 1983, yang mengalihkan tanggung jawab dan wewenang kepada konferensi para uskup setempat dalam penerjemahan teks-teks liturgi ke dalam bahasa setempat. Hal ini sekaligus mengurangi peran Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen demi terwujudnya pengambilan keputusan bersama antara gereja-gereja lokal dan Roma.

Para Uskup Indonesia merespon positif Magnum Principium untuk menyiapkan Misale Romawi berbahasa Indonesia secara lengkap. Dimulai dengan pembaruan atas TPE dengan mengacu pada Ordo Missae dari Missale Romanum 2008.

Babak pertama dari proyek ini boleh dikatakan selesai dengan terbitnya TPE 2020 yang baru saja di-launching oleh Kardinal Ignatius Suharyo, Ketua KWI, pada Jumat 7 Mei 2021, di Gedung OBOR. Boleh dikatakan ini merupakan TPE berbahasa Indonesia edisi ke-3 yang menggantikan TPE 2005 dan TPE 1979.

Para Imam Wajib Menghafal Hal Baru Lagi

Setiap perubahan otomatis membawa harapan dan tantangan baru. Terjemahan baru TPE yang mengacu pada Ordo Missae yang diperbarui, otomatis melahirkan banyak perubahan pada kata-kata, tata bahasa, susunan kalimat aktif-pasif, bertambah dan berkurangnya bagian-bagian tertentu, dan sebagainya.

Dalam kata pengantar pada Promulgasi TPE 2020, para Bapa Uskup mengajak semua pihak untuk melihat perubahan ini dalam semangat kebersamaan untuk memelihara keagungan Ekaristi dalam pengudusan manusia dan pemuliaan Allah dalam Kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya (bdk. SC No 10).

Sebagian besar perubahan akan dengan mudah dipraktikkan karena ada panduan rubrik yang amat membantu. Teks-teks pun tinggal dibaca mengikuti apa yang tertulis.

Namun, tugas berat bagi para imam tentu menghafal rumusan-rumusan baru yang sepantasnya tidak sekadar dibaca dari buku TPE. Misalnya, rumusan doa sebelum dan sesudah injil, saat mengunjukkan roti dan anggur, saat menuangkan anggur dan sedikit air, saat membungkuk di depan persembahan, saat membasuh tangan, saat mengucapkan doa konsekrasi, dan sebagainya.

Semoga kehadiran TPE 2020 membawa angin segar bagi kita semua untuk menghayati perjumpaan nyata dengan Kristus melalui Ekaristi. Masa pandemi Covid-19 yang sangat membatasi kesempatan kita untuk menyambut Komuni Suci ini sekaligus menjadi saat kerinduan panjang untuk merayakan Sakramen Ekaristi secara lebih meriah bersama kebaruan yang ditawarkan oleh TPE 2020 ini.

Jakarta, 14 Mei 2021

RD Agustinus Surianto Himawan

CATATAN:

Artikel ini sudah diterbitkan di SESAWI – Portal Berita Katolik Indonesia, 14 Mei 2021

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s