PASKAH: BANGKIT MEMAKNAI HIDUP BARU

“Kraaak, buuummm…!”, seperti kulit tersayat, dua lempeng bumi bergeser 40 meter, sepanjang 400 kilometer, dalam waktu 70 detik di kedalaman hanya 24,4 kilometer, yang menimbulkan getaran berkekuatan 8,9 Skala Richter. Air laut tersedot memenuhi rongga yang menganga itu sampai penuh, lalu membual dan mendorong ke segala arah dengan tekanan sangat kuat hingga menghasilkan gelombang laut setinggi 10 meter, menyapu bersih apapun yang dilaluinya. Data GPS yang diperoleh melalui satelit memperlihatkan posisi Pulau Honshu yang letaknya paling dekat dengan lokasi patahan bergeser 2,4 meter dari lokasi semula. “Semar….bumi gonjang-ganjing”. Ya, “semar”, karena saat itu sebelas Maret 2011.

Titik Nadir Kehidupan

Tsunami yang menghantam wilayah timur-laut Pulau Honshu, pulau terbesar dengan kota-kota penting itu telah meninggalkan trauma tak terhingga bagi bangsa Jepang, apalagi bagi para korban beserta keluarga mereka semua. Selain itu, mereka juga masih dihantui oleh perasaan cemas terkontaminasi radiasi nuklir yang bersumber dari reaktor PLTN Fukushima Daiichi. Bencana alam yang merupakan bencana terburuk dalam sejarah bangsa ini, telah kembali mengantar mereka ke titik kehancuran terendah dalam era Jepang Modern pasca bom atom Hiroshima-Nagasaki.

Jepang, yang selama seperempat abad terakhir telah memosisikan dirinya sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia, tak berdaya menghadapi kekuatan alam yang begitu dahsyat, yang tak dapat diprediksi dengan tepat oleh kehebatan teknologi termodern sekalipun. Dalam kondisi seperti itu, mereka –seperti halnya siapapun juga yang mengalaminya- hanya bisa menerima dengan pasrah. Masuk dalam situasi tersulit, menggeluti dan menghayatinya dalam kepasrahan kepada Sang Mahakuasa. Lalu merenung sejenak untuk kemudian sedikit demi sedikit kembali menata diri dan masa depannya, juga dalam kepasrahan kepada Sang Mahakasih.

Media massa berlomba-lomba memberitakan apapun yang bisa diberitakan dari pesisir timur-laut Pulau Honshu yang telah luluh lantak ini. Pendek kata, apapun bisa menjadi berita karena kondisi setempat telah menjadi sumber info yang tak ada habisnya untuk diambil dan diwartakan sampai ke ujung-ujung bumi.

Hal mengagumkan yang tampak dalam tragedi tsunami Jepang adalah semangat dan disiplin mereka yang luar biasa. Ada banyak cerita yang menggambarkan para korban dengan sabar mengantri masuk bis di saat-saat krisis evakuasi berlangsung. Juga dengan tertib mengantri pembagian makanan dan air bersih tanpa berebutan, saling dorong, atau saling sikut. Sikap mental inilah yang menjadi modal dasar bangsa ini untuk bangkit dari kehancuran. Kita tentu tahu bagaimana bom atom yang dijatuhkan tentara sekutu di kota Hiroshima dan Nagasaki telah membuat Jepang bertekuk lutut. Gagal total dan mengaku kalah dalam semangat bushido para samurai sama artinya dengan mati. Mati dan hancur, sehancur-hancurnya.

Fukusima

Bangkit Menjadi Manusia Baru

Kehancuran fisik sehancur-hancurnya yang dialami Jepang tidak berhenti dan menjadi neraka. Jiwa (semangat) tetap menggelora untuk bangkit, bekerja keras, dan kembali meraih kemenangan, membangun kemanusiaan yang baru dari reruntuhan fisik-lama. Kehancuran justru dijadikan sebagai “saat jeda”, “retret” untuk melakukan refleksi dan menemukan peluang baru untuk bangkit. Hanya dalam waktu 30 tahun semangat bushido yang diwarisi oleh para samurai telah menempatkan Jepang di tempat terhormat dalam peta kekuatan ekonomi dunia.

Paskah & Bushido 1

 

 

Cover DVD film Bushido – The Cruel Code of the Samurai, film lawas yang meraih Golden Lion dalam Festival Film Berlin tahun 1963, dirilis kembali dalam bentuk DVD pada februari 2010 dengan pemeran utama Kinnosuke Nakamura

 

Kita semua baru saja menyelesaikan masa retret agung tahunan kita sebagai umat Katolik. “Saat jeda” untuk menyiapkan sebuah kemanusiaan yang baru dalam diri kita. Manusia lama kita telah hancur, luluh lantak disapu oleh tsunami dosa. Yang tersisa hanya serpihan puing-puing kemanusiaan, yang siap dihimpun, dibentuk, dan dibarui oleh jiwa (roh) pemberian Sang Khalik yang tak pernah binasa.

Kristianitas menawarkan sebuah harapan bagi kita. Hidup bukanlah sekedar hari kemarin dan hari ini. Hidup juga tidak semata-mata fisik belaka. Hidup tidak berakhir dengan kehancuran (kematian). Hidup harus terarah kepada sebuah masa depan. Oleh karenanya, hidup harus diisi dan dimaknai, terus dirajut dan dibangun menuju ke kesempurnaan.

Yang tersisa hanyalah serpihan puing-puing. Yang lain biarlah hancur disapu tsunami. Yang tersisa hanyalah tubuh kurus terbujur kaku di palang salib. Yang tersisa menjadi bukti tentang hidup yang sejati. Tentang kemanusiaan yang tulen. Tentang kasih yang abadi. Tentang memberi dan bukan meminta. Tentang kualitas “manusia Yesus”.

Mari kita bangkit. Mari kita membangun kemanusiaan yang baru dari puing-puing yang tersisa itu, yang menjadi modal dasar untuk meraih kemenangan, meraih harapan: menjadi manusia baru, yang telah bangkit bersama Kristus yang bangkit. Mencapai titik kesempurnaan dengan membiarkan Roh-Nya merajut dan menyambung kembali puing-puing kemanusiaan kita.

Agustinus Surianto Himawan

Naskah dimuat di majalah Laudate Montes, Sukabumi, edisi Paskah 2011

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s