RAMA FRANSISKUS ATBAU UDJAN
“Lancang kuning berlayar malam, haluan menuju ke laut dalam. Kalau nahkoda kuranglah paham, alamatlah kapal akan tenggelam. Lancang kuning berlayar malam..!”
Entah apa yang melatarbelakanginya sehingga mengunggah pantun Melayu itu di status wall facebook-nya pada 1 Agustus 2013, yang dilengkapi sebuah foto kapal pinisi sedang berlayar di perairan Labuan Bajo, Flores, NTT.

Sebagai sahabat lama, saat itu saya merespon statusnya dengan sapaan akrab, “beeeh… bapak satu ini makin bijak…!”
Lalu dilanjutkan dengan dialog antar dua teman lama, yang saat ini sudah sama-sama menjadi pastor senior dan bertugas di tempat yang berbeda, berjauhan satu sama lain. Kesibukan masing-masing telah menjadikan kami hampir tidak pernah berdialog sejak meninggalkan bangku kuliah di akhir tahun delapan puluhan. Ternyata, facebook telah mempertemukan kami kembali dan bisa berdialog lagi.
“Apa kabar paduka?”, balasnya.
Kujawab, “baik selalu bos, kapan ke Jakarta jangan lupa mampir yah!”
“Aku selalu tanya kalau ke Gunung Sahari, tapi office boy bilang paduka terlalu amat sibuk.. wah akhirnya saya cicing wae (diam saja)”, katanya. Gaya bahasanya bercampur bahasa Sunda, bahasa masa kanak-kanaknya karena ibundanya berasal dari Jawa Barat. Menurut ceritanya saat masih sama-sama kuliah di Bandung, Rama Frans memang sempat menetap di Leuwiliang, wilayah Kabupaten Bogor, tempat keluarga ibundanya.
“hah, masa sih bos seperti itu, iraha euy (kapan yah), nanti langsung naik saja ke meja kerja reot di lantai atas yah”, balasku dalam dialog facebook malam itu, beberapa saat sebelum hari berganti.
“ditampi juragan, Agustus panginteun bade angkat ke Batavia euy, aya mantenan”, jawabnya. Maknanya kurang lebih, ‘baik diterima (usulannya), bulan Agustus sepertinya saya akan ke Jakarta ada kondangan yang kawin’.
Maka, saya pun meresponnya dengan bahasa Sunda juga, “mangga atuh diantosan ku abdi nya bos..! Tos lami jadi bos timah, geuning tiasa nyarios Sunda keneh”. Artinya, ‘oh baiklah, kutunggu kedatanganmu..! Telah lama menjadi bos timah, namun masih bisa berbahasa Sunda yah’. Rama Frans Atbau memang cukup lama berkarya di Pulau Bangka yang terkenal kaya akan timah.
Mungkin sambil ngantuk-ngantuk karena hari sudah malam, tapi ia masih mau menanggapi dialog kami ini, “ari di dieu mah seueur warga Sunda oge euy, jadi tiasa wae nyarios saeutik-saeutik mah, kitu juragan”. Artinya, ‘kalau di sini sih, warga Sunda juga banyak, jadi tetap saja bisa berbahasa Sunda sedikit-sedikit, begitu juragan’.
Waktu itu ujug-ujug saya pun teringat tempat asal-muasal Rama Frans Atbau, yang ayahnya dari Flores Timur, NTT, dan ibunya urang Sunda asli, maka dialog kulanjutkan, “euleh, euleh…kitu nya bos..! Upami kitu mah asa di bumi sorangan meureun (jasinga, leuwiliang, tos hilap abdi mah ka asal-usul moyangna si bos, haha)…mangga atuh, wilujeung wengi bos”. Maknanya kurang lebih, ‘oh, begitu yah bos. Jadi serasa di kampung sendiri dong (Jasinga, Leuwiliang, saya juga sudah lupa asal-usul nenek moyang Rama Frans). Baiklah, selamat malam yah’
“hahahaha… Leuwiliang, Dusun Karacak. Ayeuna geus pindah ka Cisaeur tea, cakeut Ciampea. Cenah asup Stasi Ciampea, pan adik urang oge di ditu… teu terang saha nami Rama nu tugas euy”, balasnya. Nih, artinya kurang lebih begini, ‘hahaha, Leuwiliang, di Dusun Karacak, tapi kini sudah pindah ke Cisaeur, di dekat Ciampea. Konon katanya masuk wilayah Stasi Ciampea, adik saya juga tinggal di sana, namun tak tahu siapa nama pastor yang tugas di situ’.
Jujur saja, saya yang sudah lama meninggalkan Bogor, meskipun tetap sebagai imam Keuskupan Bogor, juga tidak tahu siapa yang menangani reksa pastoran umat Katolik di Stasi Ciampea itu. Maka hanya bisa menjawab, “Ciampea, Stasi ti Katedral Bogor.. saha ramana, abdi oge teu terang bos. Upami Pastor Parokina nyaeta Rama Benyamin Sudarto. Mangga, kontak anjeunna wae atuh bos”. Oke, kuterjemahkan yah bahasa Indonesianya, ‘Ciampea adalah bagian dari Paroki Katedral Bogor. Siapa romonya, saya juga tak tahu, namun Pastor Parokinya adalah Romo Ben Sudarto. Silakan coba kontak ke sana yah’.

Kantuk yang datang malam itu mengakhiri dialog kami berdua. “Nuhun juragan. Selamat malam. Tuhan mendampingi. Salam buat kawan-kawan kita”, katanya menutup pembicaraan kami.
Teman Seangkatan Namun Beda Tahbisan
Gara-gara dialog melalui facebook di awal Agustus 2013 inilah, saya mengajak teman-teman imam seangkatan tahbisan untuk memilik Pulau Bangka sebagai lokasi refleksi tahunan kami bersama pada Februari 2014. Agar sekalian bisa bertemu dengan Rama Frans Atbau, teman seangkatan waktu masuk Fakultas Filsafar Unpar, namun kemudian kami mendahuluinya karena sebagai calon imam Kongregasi SS.CC pada tahun kedua ia harus mengikuti masa novisiat terlebih dahulu.
Senin, 24 Juni 2019, pukul 01.55 WIB, di RSAL Tanjungpinang, Kepulauan Riau, seluruh pelayanan imamat Rama Frans Atbau paripurna karena ia dipanggil kembali oleh Sang Khalik. Ia dilahirkan di Tanjungpinang, 19 November 1962. Ditahbiskan imam pada 19 September 1992. Dimakamkan di TPU Jalan Koba, Pangkalpinang, 26 Juni 2019.
Rama Frans, selamat memulai hidup baru. Dari tempat mulia nun jauh di sana, doakanlah kami yang masih dalam pengembaraan sebagai gembala umat Allah.
Pangkalpinang, Bangka, 25 Juni 2019
Agustinus Surianto Himawan