MENGGUGAT TUHAN
Saya mengenal F. Rahardi sebagai penyair, penulis, wartawan, dan pemerhati pertanian. Tulisan-tulisannya banyak saya baca di KOMPAS, Tabloid Kontan, dan majalah agribisnis Trubus. Tulisan-tulisannya tentang pertanian banyak dimuat juga di Majalah Flona, yang kemudian bermetamorfosis dalam format majalah digital. Gagasannya yang kemudian terbawa dalam mimpi saya sampai saat ini adalah pohon anggur, yang menurutnya bisa ditanam di beberapa tempat di Indonesia karena agroklimatnya memungkinkan.
Tanggal 2 Januari 2007 merupakan hari pertama saya memimpin OBOR, sebuah penerbitan buku-buku rohani, serta lembaga pengadaan dan penjualan berbagai sarana peribadatan Katolik milik KWI. Saat itu untuk pertama kalinya saya berjumpa dengan F. Rahardi, yang masih berambut gondrong, bercelana jin, dengan cerutu di bibirnya. Setelahnya, seminggu sekali sekurang-kurangnya, saya bisa ngobrol-ngobrol bareng dan mengenal sosoknya lebih dalam lagi.
Kurun waktu 2007 sampai hari ini saja, F. Rahardi menerbitkan banyak buku, antara lain Negeri Badak (2007), Menguak Rahasia Bisnis Gereja (2007), Ritual Gunung Kemukus (2008) Lembata (2008), Para Calon Presiden (2009), Bercocoktanam Dalam Pot (2009), Ine Pare (2015), dan Obor yang Kembali Menyala (2016). Puisi dan tulisan lepasnya di berbagai media sudah tak terbilang jumlahnya. Meraih penghargaan (Hadiah Sastra) atas antologi puisinya dari Pusat Bahasa pada tahun 1995. F. Rahardi menerima anugerah South East Asia Write Award pada 2009 di Bangkok untuk karyanya Negeri Badak. Pada tahun yang sama ia juga meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award untuk bukunya yang berjudul Lembata.
Tuhan Digugat
Adakah yang berani menggugat Tuhan? Ada. Orang ‘nekat’ itu namanya Floribertus Rahardi, yang lebih populer dengan F. Rahardi. Konon, awalnya ia hanya membuat coretan-coretan protes hatinya sejak masa kanak-kanak dan masa muda menyaksikan kehidupan menggereja di Ambarawa sebelum Konsili Vatikan II. Kekecewaan seorang Rahardi kecil bukan hanya ditujukan kepada sesama teman-temannya, tetapi juga kepada kehidupan para bruder dan pastor di sana. Lebih dahsyat lagi, Tuhan pun digugatnya.
Bagi kebanyakan orang, protes mungkin hanya dibiarkan tumbuh dalam hati dan menjadi dendam berkepandangan. Lalu, mungkin terkena sakit jantung, selesai. Tidak demikian bagi seorang F. Rahardi karena aneka protes itu dikumpulkannya dalam bentuk tulisan-tulisan refleksi hidup yang mulai digarapnya pada tahun 1993. Seluruh kumpulan tulisan itu kemudian diterbitkan dengan judul Menggugat Tuhan oleh Penerbit Kanisius pada tahun 2000. Terbit begitu saja, tanpa gegap gempita sebagaimana umumnya kelahiran buku-buku zaman now. Universitas Kristen Maranatha di Bandunglah yang justru memberi respon istimewa dengan mengundangnya melakukan bedah Buku di sana.
Buku Menggugat Tuhan mau mengajak pembaca masuk pada kedalaman kesadarannya dalam beriman, bukan sekadar beragama. Sikap kritis atas praktik beragama yang seharusnya membawa kita pada kematangan jiwa; hidup tidak lagi asal-asalan, menjadi pribadi yang inklusif, toleran, serta jauh dari fanatisme dan sektarianisme. Menjadi orang yang sungguh-sungguh “ada”, “hadir”, dan bersama-sama dengan orang lain sebagai makhluk Sang Khalik.
Dengan penyempurnaan di sana-sini, buku Menggugat Tuhan diterbitkan kembali pada April 2018 ini. “Supaya orang-orang yang tak puas dengan berbagai fenomena kehidupan beragama dewasa ini, meskipun jumlahnya mungkin kecil, menemukan jendela kecil yang bisa memasukkan angin segar kebebasan berpikir, serta sikap kritis terhadap kemapanan”, tegas F. Rahardi dalam Kata Pengantar edisi revisi ini. Total ada 24 tema menarik disajikan di dalamnya. Ada tema animisme, keberhalaan, nasib & takdir, dosa-surga-neraka, egoisme & konsumerisme beragama, sampai tema-tema seram tentang Tuhan yang dipuja-digugat-dibunuh.
Dalam Kata Pengantarnya, Dr. J. Sudarminta SJ, memberi catatan penting begini: “Menggugat Tuhan karya F. Rahardi menarik karena dua hal. Pertama, tulisan ini memutar film kenangan masa kecil saya sendiri sebagai orang Katolik yg dibesarkan dalam tradisi hidup beragama dan bermasyarakat di daerah pedesaan di Jawa. Kedua, tulisan ini merangsang saya untuk berpikir menanggapi lontaran gagasan dan pertanyaan yg di dalamnya secara kritis diajukan oleh penulis.”

Buku ini nikmat dibaca, membuka cakrawala keimanan kita sebagai umat beragama yang mengimani Tuhan yang satu dan sama. Satu catatan kecil saya, pemilihan font yg kelewat kecil dan tipis menyulitkan orang membacanya, apalagi bagi yang sudah stw & sby seperti saya ini.
Jakarta, Akhir Pekan 6 April 2018
Agustinus Surianto Himawan