BUYA MAARIF
Buku bertajuk “Ahmad Syafii Maarif sebagai Seorang Jurnalis” diluncurkan di Grand Quality Hotel, Yogyakarta, Sabtu 24 Februari 2018. Selama ini orang hanya mengenalnya sebagai tokoh intelektual, tokoh agama, tokoh pluralisme Indonesia, dan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah. Padahal sejak muda Buya aktif sebagai jurnalis, bahkan anggota PWI.
Buya Maarif, begitu ia biasa dipanggil, dilahirkan pada 31 Mei 1935 di Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatra Barat, sebagai bungsu dari empat bersaudara seayah-seibu. Ibundanya, Fathiyah, meninggal saat Maarif baru berusia satu setengah tahun.

Mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Rakyat (SD) di Sumpur Kudus. Pendidikan tingginya diraih di Universitas Negeri Yogyakarta (dulu IKIP), lalu memperdalam bidang sejarah untuk meraih gelar master di Ohio State University, serta doktoral bidang bahasa dan peradaban Timur Dekat di University of Chicago, Amerika Serikat. Di negeri rantau itulah ia memperdalam penghayatan imannya melalui berbagai aktivitas pengkajian terhadap Al-Quran dan Islam, berguru pada tokoh pembaharu pemikiran Islam di sana.
Berjalan dalam Keterbukaan
Kecintaannya pada pluralitas bangsa menonjol saat ia menjadi Ketua Umum Muhammadiyah (1998-2005) menggantikan Amien Rais. Pada tahun 2008 ia mendapat penghargaan Raymond Magsaysay Award dari Filipina. Ia mendirikan Maarif Institut for Culture and Humanity untuk menyosialisasikan gagasan pemikiran tentang keislaman dalam konteks keindonesiaan dan kemanusiaan universal. Tiga area inilah yang menjadi kepedulian seorang Achmad Syafii Maarif ketika berbicara tentang bangsa ini.

Keluhuran budi seseorang terlihat saat ia memosisikan dirinya di tempat yang pas. Itulah yang kelihatan dari seorang Syafi’i Maarif. Gelar ‘Buya’ disematkan orang pada namanya untuk memperlihatkan kearifannya dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam yang diimaninya.
Ketika orang ramai berbeda pandangan, Buya Maarif menerawang jauh melintasi cara pandang manusia biasa-biasa saja yang dikungkung oleh emosi amarah, ia datang membawa kesejukan. Menyirami kegersangan jiwa dengan kalimat bijak agar orang bisa berdistansi dulu dengan realitas, sebelum mengambil sebuah keputusan yg lebih pas.
Bagaimana ke depannya?
Bangga diriku, Indonesiaku, memiliki bapak bangsa berbudi luhur, Buya Maarif. Dalam gonjang-ganjing politik sektarian sekitar pilkada Jakarta tahun 2017, Buya Maarif bersama Gus Mus hadir mengajak kita mewujudkan damai bagi ‘tanah surga’ ini. Musuh kita bukan sesama warga bangsa yang ada di dalam sini, tapi yang datang dari luar melirik sepotong demi sepotong ‘tanah surga’ ini dengan air liurnya.
Biarkan perbedaan memperkaya kita, mencerdaskan kita karena kita tetap satu bangsa, satu bahasa, satu nusantara. Kesadaran akan perbedaan namun menyatu itu akan membuat kita semakin menemukan makna hakiki hidup berbangsa.
Album foto di bawah ini memuat juga foto Buya Maarif saat menghadiri perayaan 80 Tahun Kardinal Julius Darmaatmadja SJ di Bentara Budaya Jakarta, Sabtu, 10 Januari 2015. Saat itu Buya Maarif tampil sebagai pembicara bersama Bhikkhu Pannyavaro Mahathera, dan Pendeta Andreas A. Yewangoe dalam seminar kebangsaan bertajuk “Agama, Moral, dan Masa Depan Bangsa”, yang dimoderatori oleh Rikard Bagun. Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo, turut memberikan kata penutup dalam seminar kebangsaan itu.
“Agama di tangan pengikutnya yang terlepas dari kawalan moral juga bisa menjadi sumber kegaduhan dan konflik”, tegas Buya Maarif waktu itu. “Kemanusiaan adalah tunggal dan tak dapat dipecah oleh sekat-sekat agama, suku, warna kulit, dan primordialisme. Maka, siapa pun yang mengalami musibah wajib ditolong”. Sebuah cara pandang yang amat universal menghargai persaudaraan antar sesama.





Akankah lahir para Bapak Bangsa berikutnya bagi Indonesiaku?
Jakarta, 26 Februari 2018
Agustinus Surianto Himawan