MERAWAT CORPORATE CULTURE
Edward B. Taylor mendefinisikan Corporate Culture atau Budaya Organisasi sebagai sekumpulan pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat, kapabilitas, dan kebiasaan yang diperoleh oleh seseorang sebagai bagian dari organisasi/perusahaan. Di dalamnya termuat nilai-nilai dan cara bertindak yang dianut organisasi/perusahaan dalam relasinya dengan pihak luar, yang terbentuk dalam kurun waktu yang cukup panjang (lih. Corporate Culture & Organization Culture – A Strategic Management Approach, A.B. Susanto & Himawan Wijanarko)
Bagi sebuah organisasi/perusahaan, Corporate Culture dibentuk dan diimplementasikan melalui proses panjang dan lama karena melibatkan semua individu yang ada di dalamnya, masing-masing dengan kekhasan egonya, yang harus dipertemukan dengan Misi-Visi yang dianut organisasi/perusahaan. Hanya mereka yang bisa menyetem dirinya dalam satu nadalah yang sanggup berkontribusi di dalamnya. Bagaimana dengan yang tak mampu menyesuaikan diri, yah akan tertinggal dan menjadi duri dalam daging, atau mencari jalan di luar yang pas baginya.
Sebuah organisasi/perusahaan yang bisa menjaga corporate culture-nya dengan baik, dari banyak penelitian, tingkat pencapaian hasilnya (performa, performance) akan meningkat tajam. Hasil penelitian yang dilakukan Harvard Business School memperlihatkan bagaimana perusahaan yang aktif mengelola corporate culture-nya memiliki pencapaian hasil 682%, sedangkan perusahaan yang tidak mengelola corporate culture-nya hanya meraih pencapaian 166%.
Foto: Cydcor – Real Opportunity, Real Results
Berangkat dari Pengalaman
Tulisan ini terinspirasi oleh pengalaman tadi pagi waktu membeli beberapa buku di sebuah toko buku terkenal. Saat memencet tombol untuk mengisi PIN di mesin ADC tiba-tiba mata mengintip angka yang diisikan oleh kasir, “loh koq mahal juga yah”, suara dalam hatiku. “Diskonnya berapa Mbak? Saya punya kartu member loh”, karena setahu saya di toko buku ini ada diskon khusus bagi member-nya
Pada banyak toko retail biasanya kasir secara otomatis akan bertanya, “punya kartu member ngga, pak/bu”, sebelum ia menginput daftar belanjaan pada mesin kasirnya. Tujuannya untuk memberi pelayanan paripurna bagi pelanggan setianya berupa diskon spesial; dalam bisnis disebut merawat loyalitas pelanggan. Ini merupakan salah satu bagian dari corporate culture yang diimplementasikan dalam SOP di toko tersebut. Tentu semua tidak serta-merta menempel di benak individu-individunya. Butuh proses pembelajaran. Butuh proses pengulangan dan pendampingan yang memadai agar corporate culture terbawa dalam pelayanan sang individu.
Faktor Pimpinan & Manajemen
Tidak mudah merawat organisasi/perusahaan agar survive karena ada banyak faktor yang memengaruhinya. Namun, dari sekian banyak faktor itu, faktor pimpinan adalah kunci utama keberhasilan sebuah organisasi/perusahaan.
Pergantian pimpinan dan manajemen seringkali menjadi saat-saat ‘kritis’ bagi sebuah organisasi karena organisasi (1) akan berkembang ke arah lebih baik berkat corporate culture yang tetap dijaga dan disesuaikan dengan perkembangan zaman, atau (2) stagnan, bahkan (3) mengalami kemunduran karena terabaikannya corporate culture sebagai nilai-nilai yang menyatukan semua ego di dalam organisasi/perusahaan. Corporate Culture tidak lagi menjadi perekat sosial bagi individu-individu di dalamnya guna mencapai maksud dan tujuan organisasi/perusahaan.
Dari sisi lain, corporate culture dapat membantu organisasi/perusahaan untuk memiliki dan mempertahankan SDM yang berintegritas, yang memiliki pengetahuan, keahlian, atau keterampilan untuk mengembangkan organisasi/perusahaan, serta memiliki sikap dan perilaku moral yang baik bagi terwujudnya Misi-Visi lembaga. Individu baru yang masuk ke dalamnya harus bisa menyesuaikan diri dengan corporate culture yang sudah terbentuk agar bisa berkontribusi bagi organisasi/lembaga. Maka nilai-nilai baru yang dibawanya harus berdampak positif bagi lembaga, semakin memperkaya, dan bukan kebalikannya.
Berubah Menjadi Lebih Baik
Apakah corporate culture bisa berubah? Tentu saja bisa, namun harus ke arah yang lebih baik dan berdampak positif bagi organisasi/perusahaan kalau kehadirannya masih dibutuhkan oleh semua pemangku kepentingan. Corporate Culture bukan sesuatu yang statis bagaikan dogma, namun terus hidup dan menghidupi organisasi/perusahaan.
Perubahan bisa muncul karena adanya pemicu, baik dari internal maupun dari eksternal lembaga. Pemicu internal yang membawa perubahan ke arah lebih baik bagi organisasi/perusahaan bisa saja muncul akibat masuknya individu-individu berkualitas ke dalamnya, atau adanya kepemimpinan baru, adanya perubahan proses (produksi) baru sebagai pengganti proses lama yang dianggap sudah out of date, adanya penerapan teknologi baru yang lebih baik, dan lain-lain. Pemicu perubahan yang berasal dari eksternal antara lain faktor lingkungan, globalisasi, dan perkembangan teknologi informasi, faktor sosial politik, faktor tekanan dari para pemangku kepentingan (pemerintah, konsumen, lingkungan), adanya merger dan akuisisi, dan lain-lain.
Kemampuan meramu semua hal tersebut merupakan seni berorganisasi. Kemampuan memanfaatkan corporate culture bagi perkembangan organisasi/lembaga merupakan seni memimpin. Dan itu semua hanya ada pada individu-individu yang menyerahkan jiwa-raganya bagi organisasi/perusahaan di mana ia hadir, ia hidup di dalamnya, dan ia menghidupi semua pemangku kepentingan dalam organisasi/perusahaan tersebut.
Menyerahkan jiwa-raga dalam bahasa sederhananya adalah “siap bekerja dengan hati”.
Jakarta, 26 April 2018 – Agust Surianto Himawan
Gambar fitur dari MITSloan Management Review
Dear Rm Agust
Terima kasih untuk pencerahannya. Hal ini menjadi refleksi dan evaluasi untuk kami, khususnya saya pribadi.
Terima kasih Rama.
Salam, FXS
SukaSuka