Pada Tahun Ke-69

Tadi pagi di linimasa facebook saya muncul memorabilia yang pernah saya unggah beberapa tahun lalu. Menarik, bahkan membangkitkan semangat untuk mengaktualisasikannya kembali karena berisi foto-foto kenangan zaman old dari sebuah lembaga tua milik Gereja Katolik, bernama OBOR.  Gedung OBOR yang kecil dan sederhana di halaman depan kompleks Provinsialat Tarekat Bruder Budi Mulia, Jalan Gunung Sahari 91, Jakarta Pusat. Di sebelah kiri nampak menjulang gedung sekolah BPK Penabur yang sudah bertingkat

Dulu waktu didirikan namanya Glorieux, sebuah toko buku sederhana yang mengimpor dan menjual berbagai buku-buku berkualitas. Bahkan konon ini merupakan toko buku pertama di Jakarta. lalu berubah menjadi OBOR mengekor nama induknya “de Toorts”, dalam Bahasa Belanda yang artinya OBOR.

Saya bersyukur pernah ikut ambil bagian di dalamnya selama sembilan tahun penuh dari 2 Januari 2007 s.d. 31 Desember 2015. Dua tahun lalu tugas penggembalaan sebagai direktur OBOR beralih kepada imam yang lebih muda, yaitu Rama F.X. Sutanta, yang kebetulan sama-sama berasal dari komunitas persaudaraan imam diosesan Keuskupan Bogor.

Berawal sebagai Karya Para Bruder BM

Penerbit & Toko Rohani OBOR adalah sebuah lembaga yang bernaung di bawah Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), berkarya di bidang pewartaan, melalui penerbitan buku rohani Katolik, serta pengadaan/penjualan aneka sarana devosi, peribadatan dan perlengkapan liturgi Gereja Katolik.

Karya ini bermula dari sebuah Toko Buku bernama “Glorieux”, yang didirikan pada tahun 1949 oleh Kongregasi Bruder Budi Mulia di Jalan Gunung Sahari No. 91 (d.h. Goenoeng Sari Weg No. 50), Jakarta Pusat.

OB 08       Logo OBOR ketika dikelola oleh Yayasan Ekapraya

Tahun 1950 lembaga ini diambil alih oleh NV OBOR, yang merupakan cabang dari sebuah perusahaan penerbitan di Heemstede,  Belanda,  bernama ”De Toorts”, yaitu sebuah penerbitan yang sahamnya dimiliki oleh beberapa penerbit Katolik dan sejumlah Ordo Religius di Belanda. Tujuannya ingin membuat sebuah penerbitan buku untuk membangun kerja sama sosio-budaya dan tukar-menukar nilai-nilai budaya antara Belanda, Indonesia, Suriname, dan Nederlandse Antillen di Karibia. Bapak J.C. Oostermeijer ditunjuk sebagai Direktur NV OBOR yang pertama.

Konflik politik Indonesia-Belanda tak memungkinkan kegiatan ini berlanjut, sehingga dengan terpaksa diambil keputusan untuk menyerahkan OBOR kepada pihak Indonesia. Dalam Notulen RUPS NV OBOR, yang diadakan di Den Haag, 31 Agustus 1957, diputuskan untuk menyerahkan seluruh modal, yang berbentuk rumah di Gunung Sahari, seluruh hak cipta dari penerbitan, dan seluruh persediaan barang, kepada empat Ordo Imam Misionaris tertua di Indonesia (de Vier Oudste Priestermissie Orden), yaitu SJ, MSC, OFMCap, dan SVD.

Pada 9 Desember 1957 didirikanlah Yayasan Ekapraya oleh Pastor A. Conterius, SVD dan Pastor A. Soemandar, SJ untuk mengambil alih OBOR. Investasi awalnya diperoleh dari empat Ordo tersebut, masing-masing menyumbang sebesar Rp. 25.000 sehingga totalnya berjumlah Rp. 100.000.

OB 06 Memo Kantor Akuntan Drs. Tjiong Fat Fong, Jalan Nusantara 37 Jakarta, sebagai pengantar laporan tahunan Toko OBOR tahun 1966

OB 05Catatan tentang jumlah stok barang per 31 Des 1962 yang terdiri dari buku-buku terbitan OBOR, buku-buku katolik non OBOR, buku-buku terbitan Pradnja Paramita, barang-barang rohani, alat-alat keperluan sekolah, dan lain-lain

Tak lama kemudian posisi Pastor Soemandar, SJ digantikan oleh Provinsial Serikat Jesus dan Pastor F. Subroto Widjojo, SJ.  Mulai 1 Januari 1958 ditugaskanlah Bapak I.R. Poedjawijatna sebagai Direktur OBOR menggantikan J.C. Oostermeijer. Direktur OBOR berikutnya adalah Bapak A. Dasoeki Sandiwanbroto yang menjadi Direktur pada tahun 1972 – 1979.

OB 02

 

Penanggalan Keluarga Tahun 1966 diterbitkan oleh OBOR dan diiklankan dalam mingguan HIDUP Katolik. Siapa sangka, dikemudian hari terbitan itu bermetamorfosis menjadi ZIARAH BATIN

OB 03

 

 

Iklan OBOR di Majalah HIDUP KATOLIK tentang segera terbitnya buku doa anak-anak berjudul “Santapan Para Malaikat” dan buku doa orang dewasa berjudul “Menghadap Tuhan”

 

 

 

 

Kiprah OBOR sebagai penerbit buku sangatlah menonjol. OBOR banyak menerbitkan buku-buku pelajaran dan buku-buku keagamaan yang membantu masyarakat untuk memperoleh berbagai buku berkualitas pada waktu itu. Salah satu buku populernya pada era enampuluhan adalah Penanggalan Keluarga.

OB 04

 

 

Majalah HIDUP KATOLIK sebagai sarana promosi produk-produk OBOR sejak tempo doeloe sampai kini

Tampaknya sejak zaman beheula sampai sekarang penerbitan buku harus dipublikasikan melalui media massa.

 

 

Majalah HIDUP, dulu bernama HIDUP KATOLIK, adalah sarana yang dirasakan paling pas bagi OBOR. Setiap terbitnya buku baru harus diinformasikan melalui HIDUP yang dari masa ke masa menjadi majalah penting bagi banyak keluarga Katolik di Indonesia.

Sayang memang akhir-akhir ini kita mendengar “nasib” kurang baik melanda majalah tua ini: tirasnya anjlok jauh dan PHK melanda para karyawannya.

 

Masa Suram Kembali Melanda

Pada paruh kedua dasawarsa tujuh-puluhan, berbagai kesulitan mendera OBOR. Manajemen yang tidak seia-sekata tampaknya menambah kerumitan pengelolaan lembaga ini. Kesimpulannya pada waktu itu adalah menjual OBOR karena dirasakan sulit berkembang. Maka kemudian OBOR ditawarkan kepada dua penerbit besar milik lembaga Gereja yang sudah cukup berkembang pesat pada waktu itu, yaitu Nusa Indah (Ende, Flores) dan Kanisius (Yogyakarta). Dengan berbagai pertimbangan akhirnya opsi ini ditolak.

Setelah melalui proses perundingan yang panjang, akhirnya Yayasan Ekapraya secara resmi diserahkan kepada MAWI (sekarang KWI) pada 4 Juli 1979 dengan surat dari Dewan Komisarisnya, yang ditandatangani oleh Pastor A. Heuken, SJ (ketua), serta Pastor M.C. Janssen, OFMCap, Pastor H. Thometzki, SVD, dan Pastor G. Zegwaard, MSC (anggota). Proses serah terima selesai setelah para Uskup menyetujuinya dalam Sidang MAWI 1979. Tahun 1980 OBOR diaktifkan kembali dengan mengutamakan distribusi buku-buku Katolik dan penerbitan dokumen-dokumen KWI beserta lembaga-lembaganya.

OB 07

 

 

 

Gedung yang lebih representatif berlantai tujuh dibangun pada tahun 1990.
Selesai dan diresmikan penggunaannya pada 9 Nov 1991 oleh Mgr. Julius Darmaatmadja SJ, Ketua KWI pada waktu itu

 

 

Melihat perkembangan yang pesat dan peluang pelayanan yang begitu besar dan luas,  pada Agustus 1988 KWI bekerja sama dengan Kongregasi Bruder Budi Mulia membangun sebuah gedung berlantai 7 di lokasi ini, yang peresmian penggunaannya ditandai dengan pemberkatan oleh Mgr. Julius Darmaatmadja, SJ (Ketua KWI waktu itu) pada 9 November 1991.

Dua tahun kemudian, tepatnya 30 Desember 1993, dilakukan Perjanjian di bawah tangan tentang “Tukar Menukar Tanah & Gedung” antara Bruder Budi Mulia dengan KWI. Pihak KWI menyerahkan gedung empat lantai yang dibangunnya di sebelah kanan gedung OBOR menjadi milik Bruder Budi Mulia, sebaliknya Bruder Budi Mulia menyerahkan tanah yang diatasnya berdiri gedung OBOR menjadi milik KWI. Perjanjian itu dilakukan oleh Mgr. J. Darmaatmadja SJ selaku Ketua KWI dan Bruder Y. Sukartono Laurentius selaku Provinsial Bruder Budi Mulia.

Dalam sidang tahun 1991, KWI memutuskan bahwa semua buku-buku liturgi KWI harus diterbitkan melalui OBOR. Keputusan ini diperkuat lagi dalam Sidang KWI tahun 2000 dan 2007 yang mewajibkan semua publikasi buku-buku KWI melalui OBOR, satu-satunya penerbitan buku resmi milik KWI.

Dari Yayasan Ekapraya ke Perkumpulan Rohani OBOR

Tahun 2002 dilakukan perubahan status badan hukum pengelolanya. Yayasan Ekapraya dibubarkan, kemudian didirikanlah Perkumpulan Rohani OBOR (PRO) dengan dua unit karya, yaitu Penerbit dan Toko Rohani. Melalui berbagai usaha, para Uskup mencoba membenahi  pengelolaan OBOR agar semakin berfungsi sebagai perpanjangan tangan KWI dalam pelayanannya untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup rohani umat Katolik di Indonesia.OB 09

Logo OBOR saat dikelola oleh Perkumpulan Rohani OBOR (PRO) tahun 2002

Perkumpulan Rohani OBOR diarahkan untuk menerbitkan dan mendistribusikan aneka buku rohani, buku liturgi dan alkitab. Selain itu juga mengadakan dan membuat berbagai sarana peribadatan dan barang-barang rohani yang amat dibutuhkan oleh seluruh umat Katolik Indonesia untuk menghayati iman kristianinya secara penuh dan menjadi warga masyarakat Indonesia seutuhnya.

Tonggak Sejarah OBOR

  1. Didirikan tahun 1949 oleh para bruder Kongregasi Bruder Budi Mulia di kompleks Budi Mulia, Jalan Gunung Sahari 91 (d.h. Goenoeng Sari Weg No. 50) dengan nama Toko Buku “Glorieux”.
  2. Tahun 1950 diambil alih oleh sebuah penerbitan di Belanda yang dikelola oleh beberapa tarekat/kongregasi imam di sana. Namanya diganti menjadi “de Toorts”, persis nama di negeri aslinya. NV de Toorts cabang Jakarta ini dipimpin oleh J.C. Oostermeijer.
  3. Tahun 1957 “de Toorts” dinasionalisasi dengan nama baru “OBOR”, yang pengelolaannya diserahkan kepada empat tarekat imam misionaris tertua di Indonesia, yaitu SJ, MSC, SVD, dan OFM.Cap. Didirikanlah Yayasan Ekapraya pada 9 Des 1957 sebagai badan hukum resminya.
  4. Tahun 1979 pengelolaan OBOR diserahkan kepada MAWI (kini KWI). Setahun kemudian OBOR diaktifkan kembali dengan mengutamakan distribusi buku-buku Katolik dan penerbitan dokumen-dokumen KWI serta lembaga-lembaganya.
  5. Pada 3 Agustus 1988 dibuat kerja sama antara MAWI dg Kongregasi Budi Mulia untuk mendirikan gedung baru yang lebih representatif sebagai lembaga KWI.
  6. Gedung baru berlantai tujuh yang dinamai Griya OBOR, diresmikan  pada 9 November 1991 oleh Ketua KWI pada waktu itu, Mgr. Julius Darmaatmadja SJ, bertepatan dengan Sidang Tahunan KWI.
  7. Tahun 2002 Yayasan Ekapraya dibubarkan. Pengelolaan OBOR dilanjutkan oleh Perkumpulan Rohani OBOR sampai sekarang.
  8. Awal 2009 KWI menyetujui renovasi bagian dalam Griya OBOR secara bertahap, dimulai dari lantai 1 yang disiapkan untuk area toko buku, audio/video, dan kids corner. Berlanjut ke lantai 2 (area benda-benda devosional) dan lantai 3 (area perlengkapan liturgi) pada tahun 2010. Kemudian pada 2011 mulai direnovasi lantai 4 dan 5. Lantai 5 digunakan untuk Penerbit OBOR dan kantor-kantor lainnya. Terakhir lantai 6 pada tahun 2012 untuk ruang rapat, ruang transit pameran, kantor PRO, dan pastoran. Sedangkan lantai 7 (aula) hanya dilakukan perbaikan seperlunya pada 2010.

Menyimpan Sejarah Panjang

Sepuluh bulan sebelum kelahiran saya, tepatnya pada 29 Oktober 1959, ada seseorang berbelanja di OBOR, Gunung Sahari 91, Telp 373, Jakarta. Ketika itu, OBOR masih dikelola oleh NV de Toorts yang mengambil alih pengelolaan lembaga ini dari para Bruder Budi Mulia.

OB 10

 

 

 

Foto bon kontan OBOR bernomor seri 006124 ini diunggah di halaman facebook, September 2016 oleh Bapak Djulianto Susantio, seorang arkeolog tamatan UI yang banyak menulis tentang dunia arkeologi di berbagai media.

 

 

 

Dari tulisan yang tertera, tampaknya keluarga Pak Djulianto pada waktu itu membeli 2 buah buku berbahasa Inggris seharga 44 rupiah.  Ibu Yong, sang pembeli buku, adalah seorang guru yang kala itu mengajar di kawasan Gunung Sahari dan Jatinegara, tante dari Pak Djulianto.*

Koleksi yang luar biasa, bukan? Sekaligus membuktikan betapa “lembaga tua” ini tahan banting di sepanjang zaman.  Kini, di Jakarta masih adakah lembaga yang lebih tua dari OBOR dengan karya yang konsisten sepanjang zaman?

Agustinus Surianto Himawan

* Tentang cerita sang tante memberikan warisan buku-bukunya kepada Pak Djul, silakan baca dan lihat di https://www.kompasiana.com/djuliantosusantio/toko-buku-obor-yang-mampu-bertahan-lebih-dari-setengah-abad_580c4303d39273b35c99672c

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s