GURU SEJATI  –  DIGUGU DAN DITIRU

Those schoolgirl days
of telling tales and biting nails are gone..
But in my mind, I know they will still live on and on
But how do you thank someone, who has taken you from crayons to perfume..? 

It isn’t easy, but I’ll try…!
If you wanted the sky
I would write across the sky in letters, that would a thousand feet high
to Sir…with love..! 

The time has come
for closing books and long last looks must end
And as I leave, I know that I am leaving my best friend
A friend who taught me right from wrong… and weak from strong..
That’s a lot to learn

What…what can I give you in return..?
If you wanted the moon, I would try to make a start
But I, would rather you let me give my heart
to Sir… with love..!

Saat mendampingi retret guru-guru sebuah sekolah Katolik, seorang guru menyampaikan keluhannya melihat bertumbuhnya sekolah-sekolah baru bermodal kuat di sekitar Jabodetabek yang ‘menyedot’ anak-anak ‘berpotensi’ untuk sekolah di sana. Akibatnya sangat dirasakan oleh Pak Guru ini, “kami hanya kebagian anak-anak yang pas-pasan segala-galanya, sehingga mengajar pun menjadi sulit & berat sekali”.

Tapi itu kejadian lama, bahkan lama sekali, saat saya masih aktif sebagai Pengurus MPK (Majelis Pendidikan Katolik) Keuskupan Bogor, antara tahun 1993-2000. Waktu itu saya mengatakan, “Sekolah-sekolah itu menerima anak-anak yang telah diseleksi kualitas segala-galanya (mungkin juga termasuk kualitas kantong orangtuanya). Guru-guru yang mengajar di sana memang menjadi ringan mengajarnya, bahkan tanpa mengajar pun anak-anak itu akan mencari ilmu sendiri karena kemampuan mereka ‘yang lebih’ itu. Mereka bisa mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi juga melalui internet, kalau perlu mereka juga akan les privat untuk berbagai mata pelajaran. Tapi apa kebanggaan guru-guru yang berkarya di sana?”

20171125_085352.png
Menjadi manusia pembelajar lewat keteladanan para guru yang menjadi ‘model hidup’ bagi peserta didiknya (Foto: pelitapost.com)

“Anda semua, para Bapa/Ibu Guru di sekolah ini mungkin merasa mendapat sisa-sisanya. Itu perasaan yang normal kan. Ketika anak-anak yang dianggap pas-pasan itu belajar dengan bimbingan Anda semua dan suatu ketika mereka tamat, mungkin saja nilainya tidak terlalu menyolok. Anda membimbing mereka dengan susah payah selama mereka bersekolah di sini agar mereka dapat menyelesaikan pendidikannya dengan baik, mendapat bekal kepandaian bagi hidup mereka di masa depan. Apakah ini tidak membahagiakan dan membanggakan Anda sebagai pendidik tunas-tunas muda bangsa?”

Menjadi Guru Sejati

Seorang guru sejati mengantar ‘anak-anak’-nya meraih kesempurnaan hidup. Mendampingi mereka berjalan di jalan yang tepat, menunjukkan jalan yang lurus, mengantarkan mereka menuju kedewasaan pribadi dan intelektual. Betapa bangganya seorang guru yang menyaksikan ‘anak-anak’-nya hari ini lebih baik, lebih pandai, lebih matang dan dewasa dari hari kemarin saat mereka diantar orangtuanya ke sekolah. Berbeda tentu kebanggaannya dibandingkan guru-guru lain yang tanpa dia berbuat sesuatu pun, ‘anak-anak’-nya bisa meraih sukses karena potensi berlebihan yang ada pada dirinya.

Refleksi ini saya tuliskan setelah menyelesaikan membaca ROH SANG GURU – Buku Saku Spiritualitas Guru Kristiani, yang ditulis oleh Agustinus Mintara Sufiyana, seorang imam Yesuit yang pernah melanjutkan studinya di Chicago, USA, dan kini mendapat perutusan sebagai pemimpin Yayasan Kanisius Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta.

ROH SANG GURU membawa saya menerawang ke peristiwa-peristiwa yang telah berlalu, saat menimba ilmu secara formal di bangku sekolah, merangkak, merayap menaiki tangga demi tangga.

Guru – Paradigma Kehidupan bagi Muridnya

Saya bisa seperti ini, bisa menjadi begini, tentu karena adanya campur tangan Tuhan melalui begitu banyak orang. Secara khusus, tentu para Bapak dan Ibu Guru, yang secara bergantian dari hari ke hari, dari tahun ke tahun menyertaiku menemukan diriku yang sesungguhnya.

Saya bersyukur pernah menjadi guru di SD St. Yusuf, Cicadas, Bandung, saat menjalani praktik mata kuliah Katekese Sekolah di Fakultas Filsafat Unpar, Bandung. Lalu pengalaman mengajar saya semakin dikuatkan ketika menjadi guru di SMP Mardi Yuana, Cianjur, Jawa Barat, bertepatan dengan tugas Tahun Orientasi Pastoral. Ada banyak pemahaman baru tentang dunia pendidikan dan pengelolaan persekolahan yang bisa saya pelajari melalui  Yayasan Salib Suci, milik Keuskupan Bandung, ketika diperkenankan dua tahun mengajar di SMA Santa Maria, Jalan Bengawan, Bandung.

20171125_085424.png
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy saat mengunjungi KWI dan berdialog dengan Presidium KWI, disambut oleh Ketua Komisi Pendidikan KWI, Mgr Martinus Dogma Situmorang OFMCap, Mgr Ignatius Suharyo (Ketua KWI) dan Mgr Antonius Subianto Bunjamin OSC (Sekjen KWI). Foto: Ucan Indonesia

Mendampingi siswa-siswi SMA tentu memiliki kekhasan karena harus berhadapan dengan para remaja usia pubertas dengan segudang masalah terkait pencarian identitas diri mereka. Menjadi guru, menjadi kakak dan sahabat bagi mereka semua. Saya tidak pernah mengajar di seminari, namun bangga karena empat orang dari murid-murid di SMA Santa Maria itu ada yang mengikuti saya menjadi kaum berjubah, ada yang menjadi bruder, ada yang menjadi pastor, serta dua orang menjadi biarawati.

What Can I Give You in Return?

Sekedar kilas balik sebagai penutup tulisan ini, rasa bangga adalah anugerah kebahagiaan terbesar yang dinikmati seorang guru sejati. Bangga karena ia telah ikut ambil bagian nyata dalam mendampingi seorang anak manusia yang berhasil menemukan jatidiri kemanusiaannya yang sempurna.

Sebagaimana yang dinyanyikan oleh Lulu, penyanyi jadul dalam tembang TO SIR WITH LOVE itu loh. Lagu yang menjadi populer bersamaan dengan filmnya yang berjudul sama, yang dimainkan dengan menawan oleh Lulu sebagai murid dan Sidney Poiters  yang memerankan sang guru. “What…what can I give you in return?, tanya para murid yang telah sukses jadi orang kepada para guru yang telah mendampinginya selama ini.

Semoga para guru dimana pun mereka berkarya dikuatkan oleh semangat seperti itu, tahan banting membawa ‘anak-anak’-nya menuju jalan lurus, jalan kejujuran, jalan kesempurnaan sebagaimana yang telah diteladankan bagi kita semua oleh Yesus Kristus, Sang Guru Sejati.

Selamat merayakan hari guru 25 November…!

Salam & doaku dari Kantor KWI,

Agustinus Surianto Himawan

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s