Sudah lupa kapan pastinya, mungkin kira-kira awal tahun 2000-an, saya membaca artikel menarik di Tabloid Mingguan KONTAN tentang swasembada pangan. Sudah lupa juga judulnya, namun di dalamnya juga membahas tentang peluang swasembada anggur misa bagi kebutuhan peribadatan Gereja Katolik. Anggur misa harus import. Begitu juga hosti dibuat menggunakan tepung gandum, yang juga import. Penulis artikel di KONTAN itu adalah F. Rahardi, sastrawan, wartawan, dan pencinta pertanian.

Gereja Katolik Indonesia untuk kebutuhan peribadatannya amat tergantung pada anggur (wine, bukan grape) yg masih import. Padahal beberapa daerah di Indonesia memiliki agroklimat yg cocok unt perkebunan anggur, yaitu dataran rendah (0-300 meter dpl) yang panas, kering, dan banyak angin, seperti Buleleng (Bali Utara), Probolinggo (Jatim), serta beberapa daerah di NTT.

Artikel itu amat menempel di benak saya sampai saat ini, seolah menjadi obsesi besar, apalagi setelah berkali-kali berdiskusi tentang peluang swasembada ini dg berbagai pihak. Kebetulan sejak 2016 saya mendapat perutusan berkarya di kantor KWI mengepalai Departemen PSDM-PU-TG, yang salah satu tugasnya adalah mengurus anggur misa. Kebetulan? Yah, itu kata orang biasa. Namun dari sisi orang beriman, mungkin ini sudah rencana Allah agar mimpi-mimpi lama yang terpendam hampir 20 tahun itu bisa segera terwujud.

Melangkah Bersama Sababay

Sekira tahun 2010-2011 para pimpinan Gereja Katolik juga telah mewacanakan hal yang sama dan membahasnya dalam sidang tahunan KWI. Tindak lanjutnya, membentuk (semacam) tim penjajagan, yang berjerih payah mencari solusi atas persoalan swasembada anggur misa ini. Namun aneka kendala menghalangi perwujudannya.

Bulan Agustus 2016 persoalan swasembada anggur misa ini kembali dibahas. Ada debat soal rasa. Ada debat soal kemampuan winery di Indonesia. Ada juga yang memasalahkan harga yang belum tentu bisa kompetitif dibandingkan import langsung, dan sebagainya. Namun ada perkembangan menarik yang optimistik, yaitu menjajagi kemungkinan berjalan di dua tempat, yaitu membuka peluang kerja sama dengan winery yang sudah ada di Indonesia, sambil mempertahankan juga anggur misa import. Jelas ini sebuah kemajuan, meskipun dalam pelaksanaannya pasti akan sangat merepotkan.

Akankah swasembada ini terwujud? Masa sih, Indonesia, bangsa sebesar ini tidak sanggup membuat anggur misa sendiri yang pembuatannya sebenarnya amat sederhana. Bahan bakunya sudah ada, bahkan bisa diperluas lagi perkebunannya di “tanah” Indonesia tercinta ini. Pembuatan anggur misa (wine) amatlah sederhana, yaitu dengan melakukan proses fermentasi buah anggur (grape) selama beberapa waktu. Tujuan fermentasi adalah untuk mengawetkan secara alamiah. Sebenarnya tanpa diubah menjadi wine pun air buah anggur (grape) boleh digunakan untuk perayaan ekaristi, namun tentu tidak praktis karena harus membuat air anggur (jus anggur) setiap saat.

Sebelum keputusan berswasembada anggur misa dilakukan, kiranya ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengingat dampak luas yang mungkin terjadi melalui keputusan itu nantinya:

  • Halal: proses produksi anggur misa mengikuti kaidah yang diatur dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK Kan 924 §3) dan Tata Aturan Liturgi Gereja Katolik (PUMR 322, 323). Pemberian nihil obstat dibutuhkan untuk produksinya (Christus Dominus art.15; Redemptionis Sacramentum art.19)
  • Sustainabilitas: terjaminnya kesinambungan produksi (pasokan buah anggur segar di dalam negeri & proses fermentasi) agar dikemudian hari tidak terjadi kelangkaan anggur misa yang berdampak pada terganggunya perayaan ekaristi di gereja, kapela, dan rumah doa lainnya.
  • Kompetitif: harga yang dibebankan sebagai biaya peribadatan berimbang dan tidak memberatkan para pihak terkait. Salah satu komponen penting yang harus dilakukan adalah menghilangkan komponen PPN dan Cukai karena penggunaannya terkait peribadatan.
  • Kerja Sama Pengawasan: semua pihak yang terlibat dalam program swasembada anggur misa ini harus melakukan pengawasan bersama agar anggur misa yang diproduksi di dalam negeri tidak beredar secara illegal dan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak berkepentingan.
  • Hemat Devisa: menggunakan produk dalam negeri untuk kebutuhan peribadatan yang pembayarannya menggunakan rupiah diharapkan turut menghemat devisa.
  • Pemberdayaan Petani Lokal: produksi anggur misa di dalam negeri harus memprioritaskan penggunaan buah anggur hasil kebun petani lokal sehingga kehadiran Gereja Katolik Indonesia sungguh berdampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat setempat.

Setahun terakhir ini telah dilakukan penjajagan, diskusi & studi banding, dan persiapan matang untuk mulai berswasembada anggur misa. Akankah semua mimpi-mimpi itu terwujud kelak?

Mari kita doakan dan usahakan bersama-sama. Tuhan akan memberkati setiap usaha yang kita lakukan bagi pemulihan martabat kemanusiaan sesame manusia dan bagi kemuliaan-Nya.

Pulau Dewata, 6-7 September 2017

Agustinus Surianto Himawan

 

Berminat menonton videonya, silakan klik di sini:

Perkebunan Anggur https://www.youtube.com/watch?v=qE4Ec-BmZBM&t=10s

Sababay Winery https://www.youtube.com/watch?v=tRwHLtntS60&t=9s

 

6 respons untuk ‘Menyongsong Swasembada Anggur Misa

  1. Shalom, berkah dalem
    Sepertinya bagus kalau anggurnya made in Indonesia. Selama ini di paroki tempat saya (setahu saya) menggunakan anggur ekaristi yang diimpor dari Australia.

    Wah ternyata masih harus ada nihil obstatnya ya? (kayak buku Puji Syukur ya ada nihil obstatnya)

    Semoga kedepan anggurnya bisa swasembada (tanam dan atau produksi) di Indonesia.

    Disukai oleh 1 orang

    1. Ya betul, selama puluhan tahun (jangan-jangan ratusan kali yah, hahaha) kita mengimport anggur misa dari Australia. Semoga berkat dukungan banyak pihak mulai tahun depan kita sudah bisa berswasembada anggur misa. Menghemat devisa juga loh.. hahaha

      Suka

Tinggalkan komentar