Setelah cukup lama mengenal Gina Sutono dan Robert Kusmayadi, sang suami, yang sebelumnya mengelola sebuah studio desain interior Interdeco, akhirnya pada 27 Oktober 2015, selepas mengikuti Rapim SEKSAMA di Ende, saya menyempatkan diri mampir ke galeri Batik Tembayat di Sanggingan, Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali.
Salah satu keistimewaan, sekaligus amat berkesan bagi saya, adalah dominasi warna-warni lembut yang dihasilkan dari bahan-bahan alami, yang menjadi ciri khas Batik Tembayat. Selain itu, pendampingan Gina Sutono terhadap para perajin dilakukan langsung on the spot dengan live in selama beberapa waktu di rumah perajin setempat. Bagaimana menciptakan seni batik yang indah & khas, bagaimana proses pewarnaan yang tepat, namun harus ramah lingkungan menjadi materi penting pembekalan untuk masyarakat perajin batik di sana. Batik yang sungguh hasil seni diproduksi dengan dua proses, yaitu dengan cara tulis dan cap, yang dilakukan secara manual, bukan masinal.
UNESCO menetapkan batik sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi (masterpiece of oral and intangible heritage of humanity) pada 2 Oktober 2009. Peran masyarakat dalam merawat dan melestarikan budaya batik akan menentukan masa depan seni & kerajinan ini. Maka tak salah kalau kita turut berpartisipasi mengenakan batik sebagai busana acara resmi, memilih batik sebagai bagian dari seragam lembaga pada hari-hari tertentu, dan sebagainya.
Apa sih Batik Tembayat, yang mengusung sesanti The Abandoned Beauty, silakan baca uraian yang diambil dari websitenya Gina Sutono di sini:
Sejarah Singkat Kerajinan batik Bayat
Sejak abad ke 17, Tembayat atau yang sekarang lebih dikenal dengan Bayat, sudah merupakan daerah penghasil batik, mulai dari batik halus, maupun batik sederhana, dengan proses pewarnaan yang dikenal dengan proses kelengan yaitu proses warna yang hanya sekali celup. Sebagian besar hasil kerajinan ini dikirim ke Solo, yang merupakan pusat penjualan batik hingga sekarang.
Warna dan motif batik dibuat umumnya dengan mengikuti selera pasar yang berkembang di Solo. Ini yang menjadi salah satu penyebab sampai sekarang Bayat kurang dikenal oleh masyarakat luar Solo dan sulit untuk menggali motif mana yang merupakan motif khas Bayat.
Batik Bayat mengalami masa keemasan pada tahun 60-an dan mengalami kemerosotan pada tahun 70-an, setelah mulai digunakannya teknik printing atau sablon, yang dapat memproduksi dengan lebih cepat dan murah. Desa-desa penghasil batik, seperti Beluk dan Paseban yang sangat terkenal dengan batik halusnya, perlahan namun pasti, mulai kehilangan para perajin batiknya. Banyak yang lebih suka hijrah ke kota besar, seperti ke Jogjakarta dan Jakarta, atau alih profesi, antara lain menjadi buruh bangunan, bertani, atau berdagang.
Batik Bayat mulai menggeliat bangkit kembali pada tahun 80-an dimulai dari desa Jarum. Berawal dari para pemuda yang bekerja di galery galeri lukisan batik di Jogja. Melihat tingginya permintaan lukisan batik dan kurangnya pasokan, mendorong para pemuda untuk pulang kembali dan mulai memproduksi sendiri lukisan batik, yang kemudian mereka jual ke Jogjakarta. Sebuah perubahan yang dahsyat dari pegawai menjadi produsen. Maka tidaklah mengherankan jika motif batik yang dihasilkan oleh daerah jarum bermotif modern, bebas dengan warna warnanya yang cerah.
Batik Tembayat
Berbicara batik berarti kita berbicara tentang sebuah perkembangan seni yang sangat dinamis. Tidak ada karya seni yang sekontroversial batik, mulai dari cara pembuatannya, sampai pada pengguna hasil batiknya nanti.
Berbagai seminar digelar hanya untuk memperjelas apa itu batik, berbagai usaha dilakukan agar batik tetap menjadi milik Indonesia, dan yang paling menarik adalah batik merupakan satu satunya karya seni yang dipakai mulai dari masyarakat VVIP sampai rakyat jelata.
Berbicara tentang batik berarti kita juga berbicara mengenai kebudayaan dan kehidupan masyarakat dari daerah batik itu berasal.
Masyarakat Bayat tergolong dinamis dan terbuka, namun tetap berpegang pada tatanan kehidupan sebagai orang Jawa. Sikap hidup ini menjadi filosofi batik Tembayat dalam menciptakan setiap helai batiknya.
Foto: NOVA edisi Kamis, 27 November 2014