oleh Agustinus Surianto Himawan
Gereja bukanlah perusahaan. Jangan dikelola dengan segala aturan layaknya sebuah perusahaan. Sejak dulu para misionaris asing, semua bisa berjalan dengan baik meskipun tanpa manajemen. Cukup dicatat setiap pemasukan dan pengeluaran. Apa yang masuk ke kas Gereja adalah untuk keperluan orang miskin. Tanpa menimbun uang ternyata Gereja bisa bertahan sekian lama, bahkan di banyak tempat berkembang dengan baik meskipun diurus oleh para pastor biasa, bukan ahli keuangan, bukan ahli manajemen, bukan ahli ekonomi. Biarkan Gereja bertumbuh dan berkembang secara alamiah. Jangan diganggu dengan macam-macam peraturan yang menyulitkan dan birokratis
Pater Kadarman dan LPPM
Siapa yang tak kenal LPPM, Lembaga Pendidikan & Pengembangan Manajemen, yang bermarkas di Menteng Raya 9, Jakarta Pusat, tepat di depan Tugu Tani?
LPPM dirintis pendiriannya tahun 1967 karena kepedulian seorang Kadarman terhadap kebutuhan manajer-manajer tangguh dan terampil yang dibutuhkan oleh Bangsa Indonesia untuk selangkah lebih maju. Bahkan kalau perlu, ini mimpi Kadarman juga pada waktu itu, LPPM menjadi “semacam” Harvard Business School di Amerika Serikat. Sebuah mimpi yang luar biasa? Salahkah?
Kadarman, lengkapnya bernama Aloysius Maria Kuylaars Kadarman SJ, lahir di Breda, Belanda, 4 Desember 1918. Ia berasal dari sebuah keluarga berada di sana. Masuk Novisiat Serikat Yesus pada usia yang sudah cukup matang, 14 Agustus 1943, setelah ia menamatkan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Katholieke Economische Hogelschool, Tilburg. Menerima tahbisan imam sepuluh tahun kemudian di Gereja St. Servasius, Maastrich, Belanda, 22 Agustus 1953. Uniknya, saat menjalani persiapan sebagai frater Yesuit, ia diperkenankan melanjutkan studi doktoral di almamaternya dan meraih gelar doktor di bidang sosiologi perusahaan pada tahun 1951.
Obsesi Kadarman sangat diwarnai oleh keprihatinan Peter F. Drucker, seorang tokoh manajemen terkenal, yang meramalkan tentang negara-negara berkembang, seperti Asia, dapat menjadi sebuah kekuatan ekonomi baru karena melimpahnya aneka sumber daya alam, namun tidak tergarap dengan baik akibat kurangnya tenaga-tenaga profesional yang mumpuni mengelolanya. Dibutuhkan sebuah lembaga “pencetak” manajer.
Pater kadarman SJ merupakan seorang rohaniwan pionir manajemen di Indonesia. Ia yang berasal dari keluarga berada, yang ketika muda mengisi hidupnya dengan berfoya-foya, pada usia 25 tahun mengambil sebuah keputusan penting bagi hidupnya: menjadi seorang Jesuit. Dan kemudian berangkat menjadi misionaris ke Indonesia.
Ia bangga menjadi misionaris SJ asal Belanda yang berkarya di Indonesia. Simaklah apa yang dikatannya, “Saya tak pernah menyesal dikirim ke Indonesia, tempat saya menjalankan macam-macam karya kerasulan, di mana panggilan saya sebagai Yesuit jauh lebih terjamin daripada di Negeri Belanda. Saya bangga dapat mengikuti dan membantu transisi Misi Belanda menjadi Provinsi Indonesia yang berdiri sendiri. Saya bangga boleh menjadi warga negara Indonesia karena cinta akan bangsa kita ini”.
Pater Kadarman adalah pakar manajemen. Namun, ia juga seorang rohaniwan. Maka, ia pun menawarkan ide-ide menarik tentang pentingnya memanfaatkan ilmu manajemen dalam mengelola manajemen Gereja. Dikatakannya, Gereja tidak bisa dibiarkan hanya diatur oleh Roh Kudus. Integrasi pikiran dan spiritualitas harus terjadi dalam Gereja. Bukankah Sabda telah menjadi daging?
Mutu kepemimpinan Gereja di Indonesia dan organisasi-organisasi di dalamnya perlu lebih disempurnakan melalui berbagai pelatihan manajemen agar semakin banyak pemimpin yang memiliki manajerial “skill” memadai. Pemanfaatan sistem manajemen modern bagi pengelolaan Gereja dan lembaga-lembaganya kiranya menjadi terobosan penting yang manfaatnya sangat dirasakan sampai sekarang.
Mengelola Gereja Secara Baik dan Benar
Saya beruntung menjadi imam di Keuskupan Bogor dalam situasi transisi, antara para misionaris Fransiskan asal Belanda, menuju pelayanan penuh oleh imam-imam Indonesia di kemudian hari. Dari mereka saya banyak belajar bagaimana menghadirkan Gereja yang sangat diwarnai cinta kasih dan kebaikan.
Mgr. Ignatius Harsono, Uskup Bogor yang kedua, menugaskan saya menjadi Ekonom Keuskupan Bogor pada tahun 1992 untuk menggantikan Pater JWM Demmers OFM, seorang imam senior yang sangat berpengalaman dalam mengelola keuangan dan persekolahan di lingkungan Keuskupan Bogor. Tugas itu sempat tertunda dua tahun karena tarik-ulur yang panjang para pimpinan Keuskupan Bogor pada waktu itu. Apa dasar pemikiran Bapak Uskup ketika itu, hanya beliaulah yang mengetahuinya.
Saya hanya menduga-duga, mungkin karena saya memiliki latar belakang (pernah) kuliah di Fakultas Ekonomi. Ketika bersekolah SMA di Bogor, dalam usia sangat muda saya telah memiliki Ijazah Negara Tata Buku untuk tingkat Bond A1, A2, sampai B. Bagi saya, semua itu adalah masa lalu. Sudah dipendam dalam-dalam dan dibuang jauh-jauh, ketika saya memutuskan untuk menjadi imam. Apakah seseorang tak boleh memilih “masa depan” menurut cara pandangnya sendiri?
Mengenai hal ini, saya pernah mensharingkan hasil refleksi pribadi saya saat merayakan 18 tahun tahbisan. Hidup saya amat mirip dengan Yunus, nabi yang mencoba menghindar dari tugas ke Ninive (Yun 1:3), mengelak dengan 1001 macam cara, namun Allah tetap memanggilnya dan memintanya untuk berangkat ke Ninive. Begitu pun hidup saya. Sepanjang 25 tahun menjadi imam, saya hanya “mencicipi” berpastoral sebagai gembala umat tak lebih dari 6 tahun, yaitu 3 tahun di Sukasari (plus 1 tahun pastoral sebelum tahbisan imam), 9 bulan 10 hari di Cibinong & Depok Tengah, dan 2 tahun di Sukabumi.
Selebihnya, saya “dibuang dan dikembalikan” ke Ninive. Ke tempat di mana saya pernah meninggalkannya sekian puluh tahun yang lalu, yaitu bidang yang terkait dengan masalah keuangan, akuntansi, dan manajemen. Itulah cara Tuhan berkarya dalam hidup saya.
Mgr. Leo Soekoto SJ sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Bogor, yang menggantikan Mgr. Ign. Harsono, memindahkan saya dari Depok untuk mengampu tugas sebagai Ekonom Keuskupan Bogor definitif pada 1994. Tugas yang amat sulit karena perbedaan pola kerja yang jauh berbeda, menggantikan sebuah sistem kerja yang nyaris tanpa manajemen, bahkan tanpa pencatatan. Semua hanya mengandalkan niat baik dan cinta kasih pada sesama.
Didukung oleh kemauan kuat dari Mgr. Michael Angkur OFM dan Kuria Keuskupan untuk mengubah pola “pengelolaan Gereja yang seadanya” itu, perlahan tapi pasti, akhirnya ditemukan bentuk yang paling cocok untuk diimplementasikan di Keuskupan Bogor.
Pada awal 1995, Pater Kadarman SJ diundang secara khusus untuk berbicara tentang peranan manajemen modern bagi pengelolaan Gereja di hadapan tokoh awam dan imam Keuskupan Bogor. Apa hasilnya? Sekurang-kurangnya, sebuah wawasan baru mampu ditawarkan dengan baik oleh Pater Kadarman SJ, bahwa meskipun Gereja bukanlah Perusahaan, tetapi Gereja bisa, bahkan harus dikelola secara baik dan benar. Niat baik saja tidaklah cukup, tetapi dibutuhkan sebuah cara yang benar dalam mengelolanya.
Langkah berikutnya adalah mengajak semua paroki untuk mulai mengimplementasikan sistem manajemen dalam mengelola paroki. Pihak Keuskupan menyiapkan panduan berbentuk Pedoman Pengelolaan Harta Benda Gereja Keuskupan Bogor. Banyak yang sepakat dengan ide pembaruan ini, namun tak sedikit pula yang tetap mencibir sambil mengatakan, “ini kan Gereja, bukan perusahaan, ngga perlu diatur-atur seperti itu lah..!”. Bukankah bumi ini tak pernah berhenti berputar, matahari tak pernah berhenti bersinar membawa cahaya menerangi dunia, meskipun ada manusia yang tak mau beranjak dari tempat tidurnya? Maka apa yang sudah dimulai sebagai langkah pembaruan pengelolaan Gereja harus terus secara konsisten dilaksanakan, sedikit demi sedikit.
Kini, 20 tahun setelah masa transisi itu terlewati, semua pihak menjadi terbiasa untuk mengelola Gereja, termasuk mengelola harta-benda Gereja, secara baik dan benar, akuntabel, dan transparan.
Manajemen Membatasi Wewenang
Pada tanggal 3 Agustus 2011, melalui milis para imam Keuskupan Bogor, saya mengirim sebuah surat cinta berjudul “Surat Cinta dari Perantauan”. Pada bagian awal surat cinta itu saya menguraikan panjang lebar tentang usaha bersama membereskan Yayasan Mardi Yuana, sebagai sebuah lembaga pendidikan terbesar yang dikelola oleh Keuskupan Bogor. Kebetulan waktu itu terkait dengan gonjang-ganjing transisi pergantian kepimpinan Yayasan Mardi Yuana.
Beberapa hal penting yang harus dipikirkan dan direfleksikan bersama, lalu diputuskan untuk dilaksanakan melalui keputusan Bapak Uskup dan para imam, antara lain:
- Sudah waktunya lembaga-lembaga (termasuk paroki) “dipaksa” menerapkan proses akuntansi yang baku, yang ke depan dilengkapi dengan sebuah sistem auditing internal dan eksternal yang memadai.
- Perlu disusun hierarki-otoritas pengelolaan keuangan (hierarchy of financial authority) di semua lembaga, termasuk di paroki-paroki. Misalnya, seorang pimpinan lembaga hanya memiliki hak mengambil keputusan keuangan sampai batas 25 juta. Selebihnya, otoritas sampai 35 juta berada di level atasnya. Begitu seterusnya secara berjenjang dibatasi, sampai level tertinggi berada di Uskup, dan/atau Dewan Keuangan Keuskupan. Ini penting karena kewenangan seorang pimpinan lembaga (termasuk para pastor kepala paroki) yang terlalu besar atas akses mengeluarkan uang, cenderung berpotensi tak beres.
- Pembangunan di seluruh wilayah (Paroki, Yayasan, atau Lembaga) harus dalam konsep terpadu, yang diawali dengan sebuah studi kelayakan, sehingga di lapangan tidak terjadi tumpang tindih perekrutan sumber daya manusia, sumber dana, perizinan, dan sebagainya.
- Setiap lembaga, termasuk paroki, harus menyiapkan sebuah rencana induk (master plan) jangka panjang. Ini penting untuk menghindari kemungkinan perubahan rencana setiap kali terjadi perubahan pimpinan, yang berujung pada kesemrawutan tata ruang, tata letak, tata guna bangunan/peralatan, tata kelola keuangan, bahkan juga ke kesemrawutan tata guna lembaga.
Manajemen itu Alkitabiah
Pater Kadarman SJ setengah abad yang lalu merintis LPPM –yang kini telah berkembang menjadi sebuah lembaga Perguruan Tinggi berkualitas- tak pernah ragu dengan apa yang dilakukannya dalam menyiapkan tenaga-tenaga profesional di bidang manajemen dan memperkenalkan pentingnya manajemen bagi pengelolaan apa pun. Bukan hanya bagi perusahaan-perusahaan, tetapi juga lembaga-lembaga nirlaba, bahkan termasuk Gereja di dalamnya.
Pater Kadarman SJ wafat di Nijmegen, 3 September 2005. Ia mengawali karyanya sebagai sarjana ekonomi, lalu memilih menjadi Yesuit, namun pada akhirnya hampir seluruh karyanya bergulat pada masalah manajemen dan ekonomi. Hidup memang penuh misteri.
Bagi Pater Kadarman, penerapan prinsip-prinsip manajemen harus dimulai dari diri sendiri. Dan, dia sangat konsisten dengan prinsipnya itu. Orangnya amat disiplin, meskipun karena sikapnya itu banyak orang menilainya galak. Ia selalu datang tepat waktu. Kebersihan lingkungan kerja menjadi hal penting, maka ia tak pernah ragu saat berkeliling kantor LPPM, mencolek debu yang melekat di jendela, lalu menunjukkannya kepada petugas cleaning service.
Gagasan Pater Kadarman untuk memanfaatkan ilmu manajemen dalam mengelola Gereja kini semakin dirasakan manfaatnya bagi banyak pihak.
Manajemen bukanlah sekedar persoalan perusahaan. Manajemen adalah sebuah cara menata sesuatu agar menjadi baik. Bahkan kalau mau jujur, ilmu manajemen ini juga sudah diajarkan oleh Yitro kepada Musa, menantunya, jauh hari sebelum kita ramai berbicara tentang ini:
Ketika Yitro, mertua Musa, melihat segala yang dilakukan menantunya, berkatalah ia: “Apakah ini yang kaulakukan kepada bangsa ini? Mengapakah engkau seorang diri saja yang duduk, sedangkan seluruh bangsa itu berdiri di depanmu dari pagi sampai petang?”… ”Engkau akan menjadi sangat lelah, baik engkau baik bangsa yang beserta engkau ini; sebab pekerjaan ini terlalu berat bagimu, takkan sanggup engkau melakukannya seorang diri saja”…”Adapun engkau, wakililah bangsa itu di hadapan Allah dan kauhadapkanlah perkara-perkara mereka kepada Allah”…
“Kaucarilah dari seluruh bangsa itu orang-orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang benci kepada pengejaran suap; tempatkanlah mereka di antara bangsa itu menjadi pemimpin seribu orang, pemimpin seratus orang, pemimpin lima puluh orang, dan pemimpin sepuluh orang…”
Musa mendengarkan perkataan mertuanya itu dan dilakukannyalah segala yang dikatakannya. Dari seluruh orang Israel, Musa memilih orang-orang cakap dan mengangkat mereka menjadi kepala atas bangsa itu, menjadi pemimpin seribu orang, pemimpin seratus orang, pemimpin lima puluh orang, dan pemimpin sepuluh orang. Mereka ini mengadili di antara bangsa itu sewaktu-waktu; perkara-perkara yang sukar dihadapkan mereka kepada Musa, tetapi perkara-perkara yang kecil diadili mereka sendiri (lihat selengkapnya, Kel 18: 13-27).
Foto: website ppm-manajemen.ac.id
Betul sekali Romo.. Gereja perlu (ilmu) management. Begitu juga dengan kelompok-kelompok di dalamnya..
Namun juga setelah berilmu management semoga tak hanya berhenti sampai dengan “taat sistem” lalu lupa dengan karya kasihnya..
*ah..saya sotoy…
SukaSuka
Setuju banget. Bukankah Gereja memang harus senantiada memperbarui dirinya, menyesuaikan diri dengan perkembangan zamannya? Ecclesia semper reformanda est, the Church must always be reformed”, kata Santo Agustinus. Dalam memperbarui dirinya itu, kehadiran Gereja sebagai tanda kasih Allah bagi manusia dan semesta harus tetap nyata.
SukaDisukai oleh 1 orang