ROMO TORO DALAM KENANGAN

Toro, si tukang kentut, itu nama julukan yang diberikan oleh teman-teman akrabnya sejak di Seminari Tinggi Petrus Paulus Bandung. Bukan asal nama, karena nama itu muncul akibat “kehebatan”nya itu juga.

Anak-anak misdinar di Paroki St. Joseph Sukabumi memanggilnya dengan sebutan “Motor” alias Romo Toro, yang dengan sikap terbukanya, membiarkan anak-anak itu berkumpul meramaikan suasana pastoran. Persis seorang ayah yang menyayangi anak-anaknya, meskipun anak-anaknya tergolong bandel juga.

Sepanjang menjalani hidup imamat, sekurang-kurangnya 3 kali saya bersentuhan langsung bersamanya dalam karya imamat.

Pertama, setahun bersama di Paroki St. Fransiskus Assisi, Sukasari, Bogor, saat Toro menjalani Tahun Pastoral, persiapan terakhir menjelang tahbisannya. Sebagai teman yang lebih senior dalam imamat, saya ditugaskan untuk membantu mendampingi, meskipun bukan sebagai pembimbing tahun pastoralnya. Alasan Bapa Uskup pada waktu itu sangat sederhana, Toro sangat mudah ‘beradaptasi’. Jika ia dititipkan dalam komunitas yang ‘banyak bercanda’ dia akan ikut seperti itu. Jika dia kumpul bersama teman yang kekanak-kanakan, dia akan menjadi seperti kanak-kanak juga. Tetapi jika ia tinggal bersama teman-teman yang ‘dewasa’, ia akan menjadi dewasa juga. Latar belakang pendidikannya di bidang akuntansi, diharapkan kelak dapat membantu pengelolaan aset-aset gereja dengan lebih baik lagi. Pada waktu itu, saya telah mendapat tugas untuk menyiapkan diri menjadi Ekonom Keuskupan Bogor bersama Sr. Maria Ancilla SFS, menggantikan Pater Joseph Demmers OFM.

Pengalaman hidup terburuk (mungkin) dialaminya di sini, sebelum ia ditahbiskan menjadi imam. Saya bersama Toro, berdua, telah menjadi saksi korban dari sebuah lembaran hitam dalam sejarah gereja lokal di sini. Pengalaman yang sampai sekarang tak mungkin dapat hilang dari lubuk hati kami berdua. Selama bertahun-tahun, bahkan hari ini genap 16 tahun lebih sebulan dan 20 hari, kami berdua mencoba mengolahnya secara positif bagi kepentingan imamat kami masing-masing.

Kedua, setelah Toro ditahbiskan menjadi imam (5 Feb 1995) oleh Mgr. Michael Angkur OFM, ia ditugaskan membereskan masalah Yayasan DKPKB (Dana Kesejahteraan Pegawai Keuskupan Bogor). Pos domisilinya dipindahkan ke Cicurug sejak Maret 1995 untuk lebih memudahkannya berkarya ke kantor pusat DKPKB di Sukabumi.

Pada waktu itu, Toro, bersama saya sebagai Ekonom Keuskupan Bogor dan didukung penuh oleh Bapa Uskup dan para pimpinan lembaga yang menjadi mitra pendiri DKPKB, mengambil keputusan penting: ‘mengakuisisikan’ Yayasan DKPKB ke Dapen KWI (d.h. bernama Yayasan DHT-KWI), mengingat kondisi aset Yayasan yang sudah sangat tidak wajar, bahkan kalau dibiarkan bertahan pun kelak dapat membawa bom waktu bagi semua pihak yang berkepentingan dengannya. Ini menjadi keputusan yang paling baik dari berbagai kemungkinan yang semuanya serba tidak mengenakkan bagi banyak pihak. Setelah keputusan ini diambil, Toro menjadi orang yang paling dicaci-maki oleh banyak karyawan dan para pensiunan yang merasa “dirugikan”. Padahal, tindakan itu dilakukan demi masa depan kelompok karyawan yang lebih besar dari kemungkinan tidak mendapat pensiun dikemudian hari karena dananya “telah terkuras” habis.

Ketiga, saya kembali bersentuhan dalam karya bersama Toro saat bergabung di Pastoran St. Joseph Sukabumi. Saya ‘pensiun’ dari GMY pada akhir Jan 2005, kemudian pada mid Februari bergabung dalam komunitas Pastoran St. Joseph, di mana Toro menjadi Pastor Parokinya.

Kami berlima sekomunitas, bersama Fr. Monang Damanik, serta Rm. Agustinus Suyatno & Rm. Alfons Sutarno yang tugasnya mengurusi Yayasan Mardi Yuana. Beberapa waktu kemudian, Rm. Sutarno pindah ke komunitas Wisma Keuskupan di Bogor. Pastoran St. Joseph menjadi ‘ramai dan meriah’ karena gaya kami berkomunitas yang amat unik.

Pada kesempatan-kesempatan tertentu, Suster Atanasia SFS melakukan pengecekan tekanan darah para romo dan selalu heran dengan tekanan darah Toro yang selalu tidak wajar. Dengan gaya khasnya, Toro selalu mengatakan memang sejak dulu tekanan darah dia seperti itu.

Minggu malam, 31 Juli 2005, sewaktu rekreasi bersama sambil menonton televisi, Toro mengatakan bahwa semalam ia sempat tidak bisa bernafas beberapa menit, jantung seperti berhenti. “Tapi saya hidup lagi”, katanya. Mendapat informasi ini, saya mencoba berkonsultasi kepada beberapa kenalan di RS Carolus dan kemudian membujuknya untuk dicek dan dirawat di Carolus. Semula ia menolak, namun akhirnya menurut juga untuk dirawat di Carolus.

Senin pagi (1 Agustus 2005) saya mengantarnya ke Carolus untuk menjalani perawatan yang lebih intensif. Toro ditangani oleh Dokter Haris (Internis) dan Dokter Gardjito (Cardiologist). Setelah beberapa hari dirawat, pagi-pagi sekali saya mendapat telpon dari Dokter Haris yang mengabarkan kondisi sakitnya dan langkah-langkah penanganan apa yang harus dilakukan baginya. Ada dua gangguan dalam tubuhnya, yaitu penyempitan pembuluh jantung dan Aneurisma Aorta.

Saat itu, untuk pertama kali saya mendengar istilah Aneurisma Aorta. Maka berbagai referensi saya buka untuk memahami apa yang dimaksud itu. Mau mengakses informasi dari internet tidak mungkin karena di pastoran tidak ada fasilitas internet. Toro adalah orang yang tidak minat dengan internet, telpon selular, komputer, dan sejenisnya. Maka, di pastoran pun tidak ada fasilitas itu.

Aneurisma Aorta dengan bahasa sederhana dapat dikatakan sebagai sebuah pembesaran (pelebaran/dilatasi) pada dinding aorta (pembuluh besar arteri). Penyebabnya bisa beberapa hal dalam tubuh orang tersebut, namun bisa juga faktor genetik sebagai gangguan yang dibawa sejak lahir.

Tindakan medik yang dilakukan oleh rumah sakit hanya untuk penyempitan pembuluh di jantungnya, yaitu dengan pemasangan beberapa ring/sten melalui proses kateterisasi jantung, yang pelaksanaannya dirujuk ke RS Abdi Waluyo.

Bagaimana dengan Aneurisma Aorta yang dialaminya? Nampaknya ini bukan perkara sederhana karena dari hasil pemeriksaan diketahui ada beberapa aneurisma pada aortanya, yang terbesar justru ada pada pangkal aorta yang baru keluar dari ventrikel kirinya. Bedah besar yang sangat beresiko nampaknya bukan menjadi pilihan bijaksana waktu itu, setelah melalui berbagai pertimbangan dan konsultasi kepada berbagai pihak, termasuk pertimbangan Bapa Uskup juga. Maka treatment terhadap ini hanya melalui obat-obatan, menu makanan yang teratur dietnya, olahraga, dan hidup sehat.

Apa akibat dari Aneurisma Aorta? Dokter menjelaskan bahwa kapan saja, tanpa bisa diduga, aorta bisa tiba-tiba pecah. Dengan cara sederhana, dokter menjelaskan Aneurisma Aorta itu ibarat balon yang ditiup, semakin besar ia menggelembung maka semakin tipis kulit permukaannya.

Deteksi atas kedua gangguan dalam tubuhnya telah membuat Toro terguncang selama beberapa bulan. Sepertinya ia belum bisa menerima kenyataan ini, dan ini berbuntut dengan perubahan sikap yang amat drastis. Toro yang ceria menjadi Toro yang pemurung, yang mengurung diri di kamar terus-menerus. Ia keluar kamar hanya pada saat teman-temannya tidak ada. Toro yang penuh humor dan terbuka menjadi Toro yang tertutup dan sulit dimengerti. Ia menjadi peka dan mudah curiga kepada orang lain.

Hal positif yang nampak dalam hidupnya adalah berhenti merokok secara total, berolahraga dengan jalan sehat setiap hari, mengurangi begadang menonton bola melalui parabola dari satu stasiun ke stasiun lain, dan makan hidangan diet yang disiapkan oleh para suster SFS dari komunitas Wisma Lansia Assisi. Bersyukurlah, bahwa lama-kelamaan ia berhasil mengatasi masa-masa sulit dalam hidupnya ini. Bapa Uskup membebaskannya dari tugas dan tanggungjawab berat yang membutuhkan konsentrasi tinggi agar ia bisa lebih berkonsentrasi pada masalah kesehatannya.

Pada hari Sabtu, 3 Desember 2005, saya ditugaskan menggantikannya sebagai Pastor Paroki St. Joseph Sukabumi. Selama beberapa bulan Toro masih menjadi bagian dari komunitas pastoran ini, sampai kemudian ia pindah ke Bogor pada bulan Februari 2006. Toro yang pemurung telah kembali menjadi Toro yang asli, penuh humor dan ceria. Di Bogor, meskipun berdomisili di Wisma Keuskupan Achmad Yani, namun ia diminta untuk membantu (sejauh sanggup) di Paroki St. Fransiskus Assisi.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Seminari Tinggi Petrus Paulus, Toro mengawali karya pastoralnya di Paroki St. Fransiskus Assisi Bogor. Setelah berpindah-pindah tempat berkarya, akhirnya ia kembali lagi ke Sukasari. Di paroki ini pula ia menutup karya pastoralnya sebagai imam. Paroki yang telah mendidiknya menjadi matang dan dewasa tentang ‘Pastoral: antara Pelayanan dan Kekuasaan’. Persis seperti Yesus, yang mengawali karyanya di Yerusalem, kemudian berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, yang berakhir dengan kembali ke Yerusalem untuk menutup karyanya.

Semua telah paripurna. Melalui tahbisan ia disatukan dalam imamat Kristus, yang kemudian dijalaninya perlahan-lahan, sampai selesai pada hari Jumat, 29 Mei 2009.

Stanislaus Kostka Pujiantoro, Pr
Lahir : Yogyakarta, 16 Oktober 1954
Menjalani Orientasi Pastoral di Paroki St. Paulus, Depok Lama (1988)
Menjalani Tahun Pastoral di Paroki St. Fransiskus Assisi, Sukasari (1992-1994)
Tahbisan Diakon di Gereja BMV Katedral Bogor (10 Juni 1994)
Tugas pastoral sebagai Diakon di Paroki St. Fransiskus Assisi, Sukasari (1994-1995)
Tahbisan Imam di Gereja Keluarga Kudus, Cibinong, 5 Februari 1995
Setelah itu mengalami beberapa kali pindah tugas ke Cicurug, Kelapa Dua, Sukabumi, dan berakhir di Sukasari kembali.

Pastoran UNIO, Jakarta, 31 Mei 2009
Agustinus Surianto Himawan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s