“Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku” (Mat 19:21).
MEMILIH DITAHBISKAN
Monsinyur Michael Cosmas Angkur OFM dilahirkan di Lewur, Kecamatan Kuwus, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT, pada hari Senin, 4 Januari 1937 dari pasangan Josef Djadu dan Odilia Mamus, sebagai anak kelima dari delapan bersaudara.
Perjalanan hidupnya sebagai “orang tertahbis” diawali dengan penerimaan tahbisan diakonat pada 18 Maret 1967. Empat bulan setelahnya, 14 Juli 1967, bersama dengan Pater Alex Lanur OFM, ia menerima tahbisan presbiterat di Gereja Katedral Bogor, 14 Juli 1967, dari tangan Monsinyur N.J.C. Geise OFM, uskup pertama Dioses Bogor. Setelah itu perjalanan hidupnya penuh warna-warni, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu perutusan ke perutusan yang lain, yang dijalaninya dengan gembira, bahagia dan penuh harapan dalam suka dan duka. Sebagai imam yang setia ia pasrahkan hidup dan masa depan perutusannya ke dalam keputusan para pembesarnya. Melalui janji ketaatan, ia yakin penyerahan hidupnya yang total kepada Allah tidak akan sia-sia. Berbagai pengalaman itu bagaikan mozaik yang membuat kemanusiaannya semakin sempurna, imamatnya semakin indah, terang dan menyala.
DARI PAPUA KE JAKARTA
Karya pelayanan imamatnya yang pertama di Paroki St. Kristoforus, Waning, yang termasuk wilayah Keuskupan Ruteng, Flores, NTT (1967-1969), tak terlalu jauh dari tanah kelahirannya di Lewur. Dari Pulau Bunga ia melanjutkan perutusannya pada awal 1969 ke Keuskupan Jayapura, tepatnya di Paroki Sentani, sebagai Pastor Paroki dan merangkap tugas sebagai Direktur Asrama Siswa-siswi SMP Misi. Perpindahannya ke Papua (dulu: Irian Barat, Irian Jaya) bertepatan dengan persiapan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat), Act of Free Choice, yang diselenggarakan oleh PBB.
Tak berselang terlalu lama, Juni 1969, ia dipindah lagi ke Wamena di Lembah Baliem, the Grand Baliem Valley, sebuah tempat indah yang dihuni oleh Suku Dani, terletak pada ketinggian 1600 meter di atas permukaan laut, bersuhu 10-15 derajat Celcius pada malam hari, yang dikelilingi oleh pegunungan-pegunungan yang tinggi menjulang (2500 – 4500 mdpl). Baru menetap sebulan di Wamena, Juli 1969 untuk sementara ia harus pindah dulu ke Paroki Enarotali, Paniai, sekaligus juga melayani Paroki Epouto. Konflik antara gerakan OPM dan TNI (dulu ABRI) telah mengakibatkan penduduk setempat melarikan diri ke hutan-hutan demi keamanan mereka. Pater Michael kembali ke pos tugasnya di Wamena pada akhir Agustus 1969.
Usia yang relatif masih muda, rohaniwan, dan bukan berasal dari suku Jawa, membuatnya lebih mudah diterima di sana. Pada waktu itu sangat kuat pandangan masyarakat bahwa mereka dijajah oleh Indonesia. Desember 1970 Pater Michael diangkat menjadi Ketua DPRD II Kabupaten Jayawijaya, merangkap sebagai Pembina Golkar Kabupaten Jayawijaya. Tugas di lembaga legislatif terus berlanjut karena ia dipilih menjadi anggota DPRD Tingkat I Provinsi dalam Pemilu 1971. Pada Pemilu berikutnya tahun 1977, kembali sekali lagi ia dipilih menjadi anggota DPRD Tingkat I. Dengan demikian domisilinya pun harus berpindah kembali lagi ke Jayapura.
Pada periode menjadi anggota DPRD Provinsi inilah ia mendapat kesempatan menjalani tahun sabath dengan mengambil kursus pastoral di EAPI, Manila, Filipina (September 1978 – Mei 1979).
Kapitel para Saudara Dina (OFM) yang berlangsung di Pacet, Kabupaten Cianjur, 30 Juli – 3 Agustus 1979 mengubah kembali “nasib” seorang Michael Angkur. Ia dipilih menjadi Vikarius OFM. Ketika Vikariat Misi Fransiskan Indonesia ditingkatkan statusnya menjadi Provinsi Santo Michael Malaikat Agung pada November 1983, Pater Michael Angkur otomatis diangkat menjadi Provinsial pertamanya untuk masa bakti 1983-1989. Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikannya sebagai Provinsial, baik terkait anggota persaudaraan (termasuk soal integrasi persaudaraan Fransiskan Indonesia dan Irian Jaya), kerja sama antar keluarga Fransiskan Indonesia, wilayah pelayanan, pendidikan para calon, termasuk memindahkan novisiat dari Yogyakarta ke Depok, Kabupaten Bogor, dan sebagainya.
MENJADI USKUP
Saat usianya menginjak 57 tahun lebih 5 bulan dan 10 hari, pada Jumat, 10 Juni 1994, Takhta Suci mengumumkan secara resmi penunjukan Pater Michael sebagai uskup definitif Dioses Bogor. Sejak saat itu, segala-galanya mau tidak mau, harus berubah.
Gelar Monsinyur kini disandangnya meskipun upacara konsekrasi episkopat baru akan diterimanya pada hari Minggu, 23 Oktober 1994. Setelah menjadi uskup tentu ia tidak bebas lagi “berkeliaran” menikmati kuliner di warung-warung makan sebagaimana bisa dinikmati para imam karena kini ada sopan-santun dan “protokoler” yang pantas diikuti oleh seseorang dengan predikat uskup.
Sebagai seorang uskup diosesan, keterikatannya pada sebuah Gereja Lokal juga seakan-akan melepaskannya dari perutusan misioner seorang misionaris Ordo Fransiskan, secara pribadi, untuk berpindah dari satu tempat perutusan ke tempat yang lain. Meminjam istilah Monsinyur Geise OFM, seorang uskup itu “kawin dengan keuskupannya” sehingga seumur hidup ia harus bisa membuktikan kesetiaannya kepada keuskupannya. Cincin pada jari manis seorang uskup adalah lambang ikatan suci dirinya dengan sebuah Gereja Lokal yang dipercayakan Kristus kepadanya.
Sebagai pemimpin tertinggi pada Gereja Lokal, yang bernama Keuskupan Bogor, Monsinyur Michael sejak saat itu juga berada pada posisi “orang yang menentukan”, bukan “ditentukan”, terkait apa pun yang masuk wilayah reksa pastoral di seluruh keuskupannya. Berada pada posisi yang “bisa menentukan” membuat dirinya juga berbeda dengan para imam lain, yang sebelumnya menjadi rekan kerja yang sejajar dengan dirinya.
Dalam buku “Harapan dan Cinta dari Uskup untuk Imamnya” (hlm. 61-62), Monsinyur Michael mengungkapkan sebuah pengalaman menarik, begini:
”Lima tahun setelah Fransiskan menarik diri, tepatnya tahun 1994, saya ditugaskan sebagai Uskup Bogor. Pada waktu itu Imam-imam Projo Bogor sudah mulai tampak. Pada tahun 1995 untuk pertama kalinya saya menahbiskan tiga imam projo, yaitu Rama Christoforus Tri Harsono, Rama Stanislaus Kostka Pudjiantoro (Alm), dan Rama Markus Santoso. Saat itu saya merasakan diri benar-benar sebagai uskup, yang membedakan saya dari seorang imam biasa.
Tahbisan itu diikuti dengan banyak tahbisan lainnya. Sejak saat itulah kami bersama para imam dan umat membangun keuskupan dan secara bersama pula sedikit demi sedikit…”
Perbedaan amat menyolok dirasakan Monsinyur Michael pada saat pertama kalinya menahbiskan imam. Ada sesuatu yang membedakannya dengan imam-imam lainnya.
Ya, betul. Ada sesuatu yang baru. Ada wewenang, hak, dan kuasa baru. Ada kemampuan dan anugerah baru, yang hanya dimiliki oleh seorang uskup, yaitu mengurapi kedua telapak tangan orang yang ditahbiskannya dengan minyak krisma suci, sambil berdoa “Semoga Tuhan Yesus Kristus, yang diurapi Bapa dengan kuasa Roh Kudus, menjaga engkau dalam menguduskan umat Kristiani dan mempersembahkan kurban kepada Allah.” (De Ordinatione 133). Pengurapan telapak tangan dalam ritus penahbisan menandakan penyucian seseorang, yang kelak melalui tangannya dalam perayaan ekaristi, Kristus hadir, serta melalui tangan yang sama juga ia memegang dan mengambil Tubuh Kristus untuk dibagi-bagikannya kepada umat.
Selain pengurapan tangan, dalam ritus penahbisan ada pula penumpangan tangan sebagai lambang pencurahan rahmat tahbisan, yang dimulai oleh uskup penahbis lalu diikuti para imam lainnya dalam upacara penahbisan imam, atau diikuti oleh para uskup lainnya dalam upacara konsekrasi episkopal seorang uskup baru.
PENSIUN & PESTA EMAS
Dalam tradisi Gereja Katolik ada keharusan bagi seorang uskup mengajukan pengunduran diri saat usia 75 tahun. Hal yang sama dilakukan pula oleh Monsinyur Michael Angkur setelah ulang tahunnya yang ke-75 pada 4 Januari 2012. Permohonannya baru dikabulkan Takhta Suci hampir dua tahun kemudian, tepatnya 23 November 2013. Sebagai penggantinya diangkatlah Pater Paskalis Bruno Syukur OFM, yang ditahbiskan sebagai Uskup Bogor oleh Monsinyur Michael pada Sabtu, 22 Februari 2014, di Gedung SICC, Sentul, Bogor.
Monsinyur Michael mengisi masa emeritusnya di Biara Fransiskan, Kampung Gorontalo, Desa Labuan Bajo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Flores, NTT. Suasana yang amat jauh berbeda dengan situasi sebelumnya di Bogor karena jauh dari kebisingan dan keramaian. Ia menikmati hari-hari masa tuanya dengan berkebun di pekarangan sekeliling biara.
Persis hari ini, Jumat, 14 Juli 2017, nun jauh dari Bogor dan Jakarta, di tanah kelahirannya, Desa Lewur, ia merayakan Pesta Emas Tahbisan Imamat dalam perayaan ekaristi konselebrasi yang dipimpin oleh 4 Uskup (Mgr. Michael, Uskup Bogor Mgr. Paskalis, Uskup Ruteng Mgr. Hubert Leteng, dan Uskup Agung Ende Mgr. V. Sensi Potokota) dan banyak imam yang datang dari berbagai tempat.
Banyak pejabat yang juga turut hadir untuk menghormati Opa Michael Cosmas Angkur, antara lain Dirjen Bimas Katolik & istri (Eusebius Binsasi & Susan Binsasi Sarumaha), Rama Siprianus Hormat (Sekretaris Eksekutif KWI), Rama Frans Sutanto (Direktur OBOR), serta Bupati & Wakil Bupati Manggarai Barat, dan tamu-tamu terhormat lainnya.
Jakarta, 14 Juli 2017
Agustinus Surianto Himawan