TAHUN KE-30

PERJALANAN IMAMAT

Ada sembilan frater diosesan dari 3 keuskupan yang seangkatan bergabung di Seminari Tinggi Petrus Paulus, Buah Batu, Bandung, pada Juli 1982. Enam orang untuk Keuskupan Bogor, dua orang untuk Keuskupan Bandung, dan satu orang untuk Keuskupan Purwokerto. Kesembilan frater ini berkuliah di STFT Suryagungbhumi (kini: Fakultas Filsafat Unpar), seangkatan masih ditambah 3 frater SS.CC, 5 frater OSC, dan 1 Suster Ursulin, sehingga totalnya ada 18 orang.

Perjalanan pendidikan dan pembinaan yang panjang harus dijalani oleh kami semua. Dari 18 orang, yang bertahan menjadi pastor hanya 9 orang, kemudian tersebar di berbagai tempat berkarya. Siapa saja? Rama St. Ferry Sutrisna Wijaya untuk Keuskupan Bandung. Rama Bavo Felndity kemudian memilih untuk Keuskupan Agats-Asmat, Rama Frans Atbau Oedjan (Alm) memilih untuk Keuskupan Pangkalpinang, dan Rama Lukas Sulaeman OSC. Sedangkan kami berlima: Rama Markus Lukas, Rama Christoforus Oferus Lamen Sani, Rama Yoh. Maria Ridwan Amo, Rama Agustinus Suyatno (Alm), dan saya untuk Keuskupan Bogor.

Suster Renee Lie OSU, satu-satunya wanita di antara kami para frater seangkatan yang berkuliah penuh, kemudian pindah melanjutkan kuliahnya di Yogyakarta setelah menamatkan Sarjana Mudanya di Bandung. Sayangnya, ia meninggal dunia dalam usia amat muda karena kanker pada Desember 1999, tak berselang lama setelah ia mengikrarkan kaul kekalnya sebagai biarawati Ursulin. Sebenarnya, teman seangkatan kami ada juga beberapa suster Ursulin yang mengambil beberapa mata kuliah saja sebagai bekal persiapan pendidikannya di Novisiat OSU Supratman, Bandung. Mereka hanya menjadi mahasiswa pendengar, istilahnya, pada waktu itu.

Menerima Tahbisan Masing-Masing

Kami semua tidak ditahbiskan dalam waktu bersamaan, yang paling sulung adalah Rama Ferry, ditahbiskan oleh Mgr. Alexander Djajasiswaja pada 2 Februari 1990. Dua hari kemudian, tepatnya pada 4 Februari 1990, kelima frater diosesan Bogor ditahbiskan oleh Mgr. Ignatius Harsono di Gereja St. Paulus, Depok Lama.

Rama Lukas Sulaeman ditahbiskan sebagai Imam OSC pada 7 Desember 1990 oleh Mgr. Alexander Djajasiswaja. Kini ia menjadi Pastor Paroki St. Helena, Karawaci, Tangerang. Rama Frans Atbau Oedjan ditahbiskan oleh Mgr. Hilarius Mua Nurak SVD sebagai imam diosesan Keuskupan Pangkalpinang pada September 1992. Setelah itu, barulah Rama Bavo Felndity menyusul setahun kemudian, pada Oktober 1993 ditahbiskan oleh Mgr. Alphons Sowada OSC sebagai imam diosesan Keuskupan Agats-Asmat.

PhotoGrid_1580745310763
Alm. Rama Frans Atbau Oedjan, sebelum meninggal bertugas di Tanjung Pinang (kiri). Rama Bavo Felndity kini bertugas di pedalaman Agats-Asmat, Papua (kanan)
PhotoGrid_1580745889595
Rama Lukas Sulaeman OSC kini melayani di Karawaci, Tangerang, sebagai Pastor Paroki St. Helena

Kini, pada saat hampir semua merayakan 30 tahun tahbisan imamat, dua orang dari kami yang bersembilan dan seangkatan ini, telah mendahului saudara-saudaranya untuk menyelesaikan seluruh perutusan imamatnya. Rama Frans Atbau Oedjan meninggal dunia di RSAL Tanjung Pinang pada 24 Juni 2019 setelah mengalami serangan jantung dan sudah beberapa tahun mengalami ketidakstabilan kondisi kesehatan. Satu lagi, Rama Agustinus Suyatno, meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto Jakarta pada 6 Januari 2020, sebulan yang lalu, setelah 33 hari dirawat akibat kecelakaan kendaraan di jalan tol Jagorawi pada awal Desember 2019.

Merawat Imamat dalam Kebersamaan

Ketika ditahbiskan menjadi imam, setiap orang punya idealisme luhur untuk mewujudkan karya dan pelayanannya sebagai gembala umat. Ada banyak hal diimpikannya untuk diwujudnyatakan di mana saja ia diutus oleh uskupnya atau oleh pembesarnya. Hampir tak ada keraguan menapaki perjalanan imamatnya, setahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun, dua puluh tahun dan seterusnya. Jatuh-bangun menjadi keniscayaan yang dilalui dalam mengisi hari-hari hidupnya sebagai imam. Dan, sebagaimana manusia pada umumnya, para imam juga memiliki kekurangan, kelemahan, kedosaan, yang harus diatasinya dengan kehati-hatian. Bahkan, tak tertutup kemungkinan ia terjatuh berkali-kali di kancah yang sama.

Imam bukanlah dewa. Imam bukanlah orang suci karena ia dipanggil dan dipilih Allah dari tengah-tengah dunia, bukan dari surga. Maka ia lemah, sama seperti kebanyakan manusia lainnya. Tahbisan telah mengubahnya menjadi berbeda, Allah mengurapinya agar ia sanggup menyucikan dirinya dan menyucikan umatnya. Seluruh hidupnya diwarnai pertobatan agar ia menjadi model manusia sejati bagi umatnya. Ia melayani perayaan-perayaan sakramen yang menandai kehadiran Allah di tengah-tengah umat-Nya.

Perjalanan imamat senantiasa harus dipupuk agar tahan menghadapi segala situasi. Bagaimana menyiasatinya? Bagaimana kami belajar tahan banting puluhan tahun, dan kini memasuki tahun ke-30 dalam imamat?

Salah satu cara yang kami gunakan adalah dengan berkumpul setahun sekali untuk melakukan rekoleksi kecil sambil merefleksikan semua perjalanan imamat selama setahun berlalu. Dalam semangat persaudaraan, biasanya saling menguatkan dan saling mengkritisi berbagai hal yang dirasakan kurang pas dalam perjalanan imamat masing-masing. Semua diterima dengan sukacita meskipun yang disampaikan tak sedikit yang “nada”-nya keras, bahkan menyakitkan di telinga si penerima. Marah? Ngambek? Dongkol? Panas hati? Ah, biarkan saja karena selama hakikat imamat, rahmat tahbisan disadari dan dihidupi, tak mungkin ‘buruk muka cermin dibelah’ karena pasti ada getaran suara Yang Ilahi menggema di hatinya, meskipun pelan saja.

IMG-20200203-WA0013
Foto & Desain: Martinus Ferianto OBOR

Perjalanan masih panjang, sampai kapan Allah membutuhkan imam-imam-Nya, sampai sana juga rasanya saya dan teman-teman seangkatan berusaha mengarahkan hidup kami, hari tua kami, seluruh pribadi kami bagi pelayanan yang dipercayakan kepada kami semua.

Tri Dasawarsa menapaki perjalanan imamat, dalam kesendirian maupun dalam kebersamaan, untuk terus mencari dan menemukan makna hidup sejati. Satu kesulitan diatasi, muncul tantangan berikutnya harus dilewati. Semua berlalu, seiring berputarnya sang waktu. Membiarkan tangan Tuhan menjadi penolongku (Mazmur 119:173).

Doa Anda semua, para umat Allah, serta dukungan para Uskup & Pembesar kami, tentu menjadi seberkas cahaya penuntun bagi kami, manakala kami merasakan kegelapan, keraguan, bahkan ketakutan dalam menjalani perjalanan imamat ini, manakala hidup kami terasa hampa.

Jakarta, 4 Februari 2020
Agustinus Surianto Himawan

19 respons untuk ‘Tahun ke-30

  1. Pf Romo Agus CS,semoga Tuhan melimpahkan rahmatNya sehat sukacita setia sll jadi imamTuhan,sukses dalam tugas dan karya ,Tuhan memberkati.amin

    Disukai oleh 1 orang

  2. Romo Agus, Romo Ridwan, Romo Markus Lukas, proficiat atas HUT Tahbisan Imamat ke-30. Terima kasih atas persembahan hidup bagi kami semua. Doa kami selalu agar Romo semakin setia dan penuh suka cita. Semangat 💪💪

    Juga semoga Romo Suyatno dan Romo Frans Atbau beristirahat dalam kerahiman Tuhan.

    Disukai oleh 1 orang

  3. Tak pernah ragu menjadi imam…
    Sampai kapan?
    Sampai Tuhan memanggil pulang…

    Hanya doa yang bisa ikut menemani perjalanan kalian, yang menurut Paus Fransiskus adalah orang suci, ketika dgn hati gembira dan penuh ketulusan terus menapaki dan memperjuangkan jalan kebaikan bagi banyak orang dalam hidup sehari-hari….

    Selamat ulang tahun imamat ke 30
    Para Imam pilihan Tuhan
    Berkaryalah mengusap air mata dunia…
    Dengan wajah Tuhan yang Maha Cinta

    Disukai oleh 1 orang

  4. Ikut berbahagia dengan para Imam Tuhan yang merayakan tahbisan imamat ke30 tahun. Semoga tetap setia bersama umat Allah di jalan salib kita masing-masing. Semoga harapan kita semua yang tertuang dalam pesan-pesan Keuskupan dapat kita wujudkan bersama.F

    Disukai oleh 1 orang

  5. Rasa-rasanya Tuhan akan selalu membutuhkan imam-imamnya sampai selesai pelayanannya.

    Selamat merayakan pesta imamat para Romo. Tuhan selalu menguatkan dan membimbing para Romo di jalan panggilan ini.

    Tuhan memberkati selalu.
    Amin

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar